Rabu, 28 Desember 2016

Toleransi Kebablasan


Anehnya negeri ini adalah sebagian besar penduduknya Muslim tetapi negaranya jarang sekali memperhatikan perasaan mayoritas, malah sebaliknya sangat peduli dengan yg minoritas. Malah, lebih peduli pada minoritasnya dan akhirnya menyebabkan yg mayoritas jadi tertindas, bahasa kerennya, tirani minoritas atas mayoritas, yg banyak harus mengalah. Persis seperti kecelakaan yg melibatkan mobil dan motor, kaidah yg dipakai "yg besar pasti yg salah", ini kesalahan berpikir, dan kesehariannya kita lihat di negeri kita. Bagaimana bisa, saat perayaan satu agama minoritas tertentu, tapi seluruh ummat Muslim diminta berpartisipasi? Bila tidak lalu dituduh anti-bhinneka, anti NKRI, tidak toleran. Bagaimana bisa, saat para ulama memberikan arahan pada ummat Muslim untuk tidak terlibat apapun dalam perayaan agama lain, lantas pejabat negara ada yg merasa terganggu? Inilah toleransi kebablasan, saat adil itu dianggap sama rata, "Kita harus mengucap natal, pake atribut mereka, sebab mereka juga ucap lebaran dan pakai atribut juga ketika lebaran". Campuraduk agama, padahal kerukunan ummat beragama itu ada ketika kita memahami agama masing-masing dan tidak memaksa orang lain ikut agama kita, dan itulah Islam. MUI adalah para ulama yg memahami agama, dan Islam adalah aturan dunia akhirat, harusnya keputusan ulama itulah yg jadi standar toleransi, yaitu bagimu agamamu bagiku agamaku. Apa yang tak bisa ditawar dalam Islam? Itulah aqidah. Maka mengakui, mengikuti, berkontribusi, menmberi selamat pada perayaan ibadah agama lain, jelas haram dalam Islam. Saya sih, sadar diri bahwa ilmu saya jauh dari ulama, maka saya ikut saja keputusan ulama. Entah mereka yg masih membantah, sebab bila sudah tentang aqidah, kita harus ekstra hati-hati. Toleransi kita sederhana, lakum diinukum wa liya diin, harusnya mereka yg merasa tak enak kalau memaksa kita ikut dalam perayaan mereka, bukan kita yg merasa begitu.
Sumber: @felixsiauw
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar