Sejak kecil, kita diajarkan untuk peduli pada dunia.
Kita diajarkan untuk peduli apa kata orang. Kita diajarkan untuk memperhatikan
dan menjaga nama baik. Jika kita gagal menyenangkan masyarakat kita, maka kita
akan dianggap sebagai orang yang gagal dan pencundang. Hal tersebut
merupakan penipuan terbesar yang pernah diajarkan kepada kita.
Sejatinya, segala sesuatu di dunia ini fana, yakni bersifat sementara dan
ilusif, karena ia begitu cepat berganti. Nama baik itu tidak ada. Kehormatan
itu semu. Kerinduan akan kehormatan dan niat menjaga nama baik justru membuat
hidup kita menderita.
Sesat Asuhan
Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk menimba
ilmu yaitu dengan mengisi kepala kita dengan hal-hal baru. Kita diajarkan untuk membaca buku-buku. Kita diajarkan untuk menerima informasi
terus menerus, sampai kita mati. Sejatinya,
belajar itu tidak sama dengan mengisi kepala. Belajar itu, sejatinya, adalah
mengosongkan kepala kita dari kotoran-kotoran dunia dalam bentuk informasi-informasi
tak berguna. Ketika semua kotoran telah pergi, kita lalu menjadi alami dan
bijak, sesuai dengan kodrat alami kita sebagai manusia. Pendidikan, dalam arti
yang kita alami sekarang ini di berbagai belahan dunia, adalah sumber dari
segala kesesatan yang menjadi akar dari segala penderitaan dan kejahatan di
dunia.
Sejak kecil, melalui tayangan sinetron dan lagu-lagu
romantis, kita diajar untuk mencintai orang lain secara romantis. Ketika
romantisme mati, yang muncul kemudian adalah sakit hati. Lalu, kita menangis
dan kecewa. Kita pun hidup dalam lingkaran setan romantisme yang tak ada
akhirnya, sampai kita mati. Sejatinya,
cinta bukanlah romantisme. Justru, romantisme adalah musuh dari cinta.
Romantisme juga menghambat lahirnya cinta yang sesungguhnya. Tayangan sinetron
dan lagu-lagu cinta telah mengajarkan kita kesesatan berpikir yang membuahkan
penderitaan sia-sia dalam hidup kita.
Sedari kecil, kita juga diajarkan, bahwa kematian
adalah akhir dari hidup kita. Ketika kita mati, kita akan masuk neraka, surga
atau reinkarnasi. Kalau kita baik, maka kita akan masuk surga, atau
bereinkarnasi menjadi orang yang tampan, cantik, sehat dan kaya. Kalau kita
jahat, maka kita masuk neraka, atau bereinkarnasi menjadi hewan yang paling
dibenci manusia. Sejatinya,
tidak ada yang tahu, apa yang terjadi setelah kematian. Semua hanya merasa
tahu, tetapi tidak sungguh-sungguh tahu. Yang jelas, semuanya berasal dari
alam, dan akan kembali ke alam. Yang meninggal tidak pernah sungguh
meninggalkan kita, karena ia ada di udara yang kita hirup dan semua yang ada di
sekitar kita.
Hidup dalam Ilusi
Pengasuhan dan pendidikan yang kita terima sejak kita
kecil sebagian besar adalah penipuan. Ia berpijak pada keinginan untuk
menjadikan kita manusia yang gampang diatur dan diperas untuk kepentingan
pihak-pihak tertentu di masyarakat. Kita diajarkan untuk selalu mencari nama
baik, kehormatan dan sukses duniawi yang fana, jika perlu dengan menjilat orang
lain, atau justru merugikan mereka. Kita hidup dalam tegangan yang sia-sia,
karena hidup dengan pikiran-pikiran yang salah. Sebagai
bagian dari masyarakat, kita tentu butuh orang lain. Kita bekerja sama dengan
orang lain, supaya bisa melindungi diri dari ganasnya alam, dan bisa tetap
hidup. Namun, secara emosional, kita sesungguhnya tidak membutuhkan siapapun.
Kebahagiaan dan kedamaian dapat kita temukan di dalam hati kita. Dan sejatinya,
kita sama sekali tidak membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain.
Itu semua semu dan menipu. Kebutuhan
emosional adalah ilusi. Itu adalah cerita bohong yang diajarkan oleh masyarakat
kita melalui berbagai media, mulai dari iklan, sinetron, lagu-lagu murahan,
sampai dengan ilmu pengetahuan. Sedihnya, banyak orang menderita secara
emosional, karena mengira kebutuhan emosionalnya nyata. Lalu, kita merasa butuh
terapi, dan para dokter serta terapis mendapatkan uang banyak dengan menipu
masyarakat. Sekali lagi, kita semua ditipu oleh pendidikan dan pengasuhan yang
kita terima dari masyarakat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar