Rabu, 28 Desember 2016

Just Illusion of Identity

Begitu banyak konflik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. Darah bertumpahan, akibat konflik identitas semacam ini. Lingkaran kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun terus berputar, tanpa henti.
Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam konflik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang bisa melarang.
Indonesia juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konflik karena perbedaan identitas. Konflik Sampit sampai dengan tawuran pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling mencintai terpisah, karena perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di pemerintahan, karena identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.
Diskriminasi pun juga lahir, karena pemahaman yang salah tentang identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak-jejak dari kebijakan tersebut masih bisa dirasakan di banyak negara. Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.
Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas? Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita hanya saling konflik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?
Identitas dan Kemelakatan
Identitas adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-kelompok lainnya.
Ketegangan biasanya terjadi, karena orang merasa identitasnya dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas kelompoknya. Ketika kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang menjadi akar dari banyak konflik di dunia ini.
Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, tetapi dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri kita dengan nama tersebut. Kita melekatkan diri kita pada nama yang diberikan oleh orang tua kita. Ketika nama itu dihina, kita pun akan merasa terhina.
Ketika kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan diri kita dengan kelompok suku kita. Ketika kelompok suku itu dihina, kita pun merasa terhina.
Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku. Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.
Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa memilih agama kita sendiri.
Nasionalisme adalah kesetiaan pada identitas nasional, yakni negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. Ketika negara dan bangsa kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.
Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu. Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu, misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. Ketika aliran itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik. Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konflik antar manusia.
Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan pekerjaan mereka. Mereka biasanya adalah para profesional yang telah mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. Ketika mereka mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat pun seringkali datang melanda.

Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. Ketika salah satu label itu bermasalah, kita menderita. Ketika salah satu label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konflik antar manusia banyak terjadi, karena orang menyamakan dirinya begitu saja pada label identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar