Begitu banyak konflik terjadi dengan
latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran
dijadikan pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. Darah
bertumpahan, akibat konflik identitas semacam ini. Lingkaran kekerasan yang
semakin memperbesar kebencian dan dendam pun terus berputar, tanpa henti.
Namun, kita sebagai manusia nyaris
tak pernah belajar dari beragam konflik berdarah ini. Sampai sekarang, kita
masih menyaksikan perang di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas.
Ketegangan antara ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di
sekitarnya memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat
masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas khusus,
sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang bisa melarang.
Indonesia juga memiliki sejarah
panjang terkait dengan konflik karena perbedaan identitas. Konflik Sampit
sampai dengan tawuran pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan
yang saling mencintai terpisah, karena perbedaan identitas. Orang tak boleh
bekerja di pemerintahan, karena identitasnya berbeda dengan identitas
mayoritas.
Diskriminasi pun juga lahir, karena
pemahaman yang salah tentang identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan
yang memisahkan orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita.
Jejak-jejak dari kebijakan tersebut masih bisa dirasakan di banyak negara.
Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih di berbagai
negara, tanpa dasar yang masuk akal.
Mengapa perbedaan identitas begitu
mudah dipelintir untuk membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu
sebenarnya identitas? Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas?
Ataukah kita hanya saling konflik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?
Identitas dan Kemelakatan
Identitas adalah label sosial yang
ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok
tertentu. Ada beragam bentuk identitas yang berpijak pada kelompok tertentu,
mulai dari ras, agama, suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender.
Kita menerima identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir.
Identitas itu berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan
kelompok-kelompok lainnya.
Ketegangan biasanya terjadi, karena
orang merasa identitasnya dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya
dengan identitas kelompoknya. Ketika kelompoknya dihina, maka ia akan juga
merasa terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang
menjadi akar dari banyak konflik di dunia ini.
Namun, identitas tidak hanya terkait
dengan kelompok, tetapi dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita
masing-masing. Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan
diri kita dengan nama tersebut. Kita melekatkan diri kita pada nama yang
diberikan oleh orang tua kita. Ketika nama itu dihina, kita pun akan merasa
terhina.
Ketika kita lahir, kita sudah
langsung masuk ke dalam kelompok suku tertentu. Kita tidak bisa memilih.
Kemudian, kita menyamakan diri kita dengan kelompok suku kita. Ketika kelompok
suku itu dihina, kita pun merasa terhina.
Kelompok suku tertentu biasanya
sudah selalu terkait dengan ras tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih
luas, daripada suku. Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita
dengan ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.
Hal yang terjadi terkait dengan soal
agama. Kita menyamakan diri kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama
yang seringkali telah dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan
seringkali tidak bisa memilih agama kita sendiri.
Nasionalisme adalah kesetiaan pada
identitas nasional, yakni negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan
bangsa dan negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan
diri kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. Ketika negara dan bangsa
kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.
Banyak orang juga melekatkan diri
pada aliran pemikiran tertentu. Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran
berpikir tertentu, misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya.
Ketika aliran itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun
dikritik. Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konflik antar
manusia.
Di era sekarang ini, banyak orang
menyamakan diri mereka dengan pekerjaan mereka. Mereka biasanya adalah para
profesional yang telah mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan
kemudian bekerja di bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. Ketika
mereka mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat pun
seringkali datang melanda.
Ada begitu banyak label identitas
yang kita lekatkan pada diri kita. Ketika salah satu label itu bermasalah, kita
menderita. Ketika salah satu label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konflik
antar manusia banyak terjadi, karena orang menyamakan dirinya begitu saja pada
label identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar