Jika kita hanya memahami dunia
melalui teori dan konsep di dalam kepala kita, maka kita tidak akan bisa
memahami realitas apa adanya. Jika kita tidak dapat memahami realitas apa
adanya, maka kita akan tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara
kenyataan dan ilusi yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung,
dan tidak dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu
memahami kenyataan apa adanya. Kita perlu bergerak melampaui teori, dan
memahami dunia apa adanya. Kata “melampaui” bisa juga diganti dengan kata
“sebelum” teori, yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep
atasnya. Para filsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin
Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni dunia
prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir filsafat Timur, seperti Seung Sahn
dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami
kenyataan apa adanya? Kita harus melepaskan diri dari konsep dan teori. Kita
harus melepaskan diri kita dari kebiasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu
kita bisa mencerap (wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan
sebelum dan sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi
memahami (begreifen) kenyataan, melainkan mengalami (erleben)
kenyataan. Kita tidak memenjara realitas ke dalam kata dan simbol, melainkan
membiarkan realitas itu tampil apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita
bergerak ke level sebelum pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa
adanya. Dalam arti ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan
dengan realitas ini, kita pun mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita
berubah. Cara hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun
lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung,
karena kepalanya dipenuhi konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan
dan harapan berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas.
Keputusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan di dalam
hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung
dengan realitas membuat teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi
jelas dan jernih. Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah
lagi melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan “intuisi”, yakni
pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai
seperangkat aturan bertindak tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu
yang alamiah, ketika orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat,
dalam arti mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak
dipenuhi oleh “perang teori” dan “perang konsep” di dalam kepalanya soal baik
buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, guna menghadapi
segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita
bisa bekerja sama, guna menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita
tidak lagi terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak
dalam kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus
menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan kita, dan
bukan sekedar sensasi sesaat belaka.
Perdamaian yang sejati dapat
terbentuk, ketika kita melepaskan ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak
lagi ngotot menciptakan perdamaian “versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada
“konsep perdamaian” atau “teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar.
Ketika kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa
mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar