Kamis, 29 Desember 2016

Melampaui Teori


Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya. Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya. Kata “melampaui” bisa juga diganti dengan kata “sebelum” teori, yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. Para filsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir filsafat Timur, seperti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus melepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita dari kebiasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap (wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan, melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, karena kepalanya dipenuhi konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Keputusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi jelas dan jernih. Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan “intuisi”, yakni pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu yang alamiah, ketika orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak dipenuhi oleh “perang teori” dan “perang konsep” di dalam kepalanya soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.

Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, ketika kita melepaskan ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan perdamaian “versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada “konsep perdamaian” atau “teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. Ketika kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar