Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) pada tanggal 2 Mei, kita selalu diajak merenung dan berhenti pada
satu pertanyaan sudah seberapa jauh kemajuan dunia pendidikan di negeri ini?
Semua Warga Negara Indonesia,mulai dari pejabat hingga orangtua kalangan
berpunya sampai si miskin papa selalu menjawab serupa bahwa pendidikan sangat
dibutuhkan, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat serta kemajuan
negara. Anehnya meskipun semua orang sudah berpikir sama tentang makna
pendidikan dan pentingnya ilmu bagi kalangan generasi bangsa untuk membangun
masa depan Indonesia, tapi tetap saja negeri ini bagai tak perduli terhadap
peningkatan peranan pendidikan di dalam negeri. Toh negara masih belum mampu
memberikan apresiasinya sebagaimana perintah GBHN untuk memberikan porsi 20
persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk anggaran
pendidikan. Meski pemerintah melalui Mendiknas pada saat memperingati Hardiknas
menyatakan untuk memajukan dunia pendidikan di tanah air telah berjuang dan
bekerja keras untuk mengatasi berbagai persoalan, namun kenyataan hingga hari
ini kualitas pendidikan kita masih sangat jauh tertinggal dibandingkan
negara-negara yang sedang berkembang, terutama di lingkup negara-negara ASEAN.
Berdasarkan survey Political and Economic Risk (PERC)
kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di
Asia. Menyedihkan lagi ternyata posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Memprihatinkan lagi, hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book
memaparkan daya saing pendidikan kita dari 55 negara yang disurvey Indonesia
berada pada urutan 53. Dampak rendahnya mutu pendidikan Indonesia itu secara
tidak langsung ternyata ikut mempengaruhi berbagai sisi kehidupan di negeri
ini. Misalnya terhadap sumber daya manusia Indonesia sangat jelas jauh
tertinggal.Hal ini dapat dilihat dari hasil reset Ciputra yang menyatakan bahwa
Indonesia hanya mempunyai 0,18 persen pengusaha dari jumlah penduduk. Padahal
sesuai syarat untuk menjadi negara maju minimal 2 persen dari jumlah penduduk
harus ada pengusaha. Sebagaimana Singapura yang kini memiliki 7 persen dan AS 5
persen dari jumlah penduduknya adalah pengusaha. Dampak lain akibat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia dapat dilihat dari Human Development Indeks (HDI)
Indonesia sebagaimana laporan UNDP, HDI pada 2007 dari 177 negara yang
dipublikasikan HDI, Indonesia berada pada urutan ke-107 dengan indeks 0,728,
hingga menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN di bawah Vietnam dan di
atas Kamboja dan Myanmar.
Berdasarkan
data yang ada terbukti bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada pada titik
terendah. Rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain tidak terlepas
dari rendahnya kualitas sarana fisik. Banyak gedung-gedung sekolah rusak,
penggunaan media belajar yang rendah, buku perpustakaan tidak lengkap,
laboratorium tidak standar serta pemakaian teknologi informasi yang tidak
memadai. Demikian pula kualitas guru rendah yang ditandai belum memiliki
profesionalisme memadai. Rendahnya kesejahteraan guru juga ikut memacu
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Idealnya seorang guru sebagaimana
hasil penelitian federasi guru independen bergaji tiap bulan Rp3 juta, tapi
nyatanya rata-rata bergaji Rp1,5 juta, guru bantu Rp460 ribu dan honorer Rp10
ribu per jam. Akibatnya dengan gaji yang rendah banyak guru bekerja sampingan.
Selain itu biaya pendidikan yang mahal juga ikut menurunkan kualitas
pendidikan. Padahal di negara-negara maju banyak sekolah-sekolah bermutu namun
biaya pendidikan rendah. Bahkan di beberapa negara pendidikan digratiskan,
karena menjadi tanggungjawab negara. Di Indonesia, pemerintah berkilah akibat
keterbatasan dana. Padahal Malaysia tak gentar menganggarkan 35 persen dari
APBNnya untuk biaya pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar