Mengenai
pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia
yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual
yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak
para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya,
Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal
tersebut seperti di bawah ini:
1.
Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil
intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih
walaupun sedikit.
2.
Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah)
yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak iii.
Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak.
3.
Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired
intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak
dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa,
sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini.
Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal
Aktif (al’aklu fa’aala).
Setelah
melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di
antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil
tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia
mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal
materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama
al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan
Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan.
Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus
pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi
wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun
sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan
moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan
sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan
wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah
satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri
sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri
dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang
kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang
tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
…selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal
aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi),
maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni
para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam
lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin
segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut
Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang
identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang
telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan
demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu
sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.
Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar