Rabu, 28 Desember 2016

Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum.


Dalam ruang yang tersedia dalam bab ini, kita tidak dapat memberikan garis besar dalam sejarah filsafat hukum. Kemungkinan ini menjadi kurang, karena seperti sudah kami kemukakan, suatu pandangan filsafat hukum dalam banyak aspek tergantung pada dan ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kefilsafatan umum. Sejarah filsafat hukum dalam segi tertentu merupakan sejarah dari filsafat. Kita melakukan seleksi dan memilih lima pandangan (aliran) filsafat hukum, yang di masa lalu atau masa kini, atau kedua-duanya harus dianggap relevan. Seleksi itu tidak mengimplikasikan bahwa kami (sepenuhnya) sependapat dengan aliran-aliran ini, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa mengetahui sesuatu tentang hal ini berguna untuk para mahasiswa. Untuk setiap aliran, kami membatasi diri sejauh mungkin hanya pada satu penulis. Hal ini saja sudah cukup majemuk. Beberapa penulis secara pendek sudah terlebih dahulu dikemukakan. Dalam paragraf-paragraf berikut ini, kita membahas berturut-turut   :
1.                  Aliran Hukum Kodrat
2.                  Idialisme Klasik
3.                  Marxisme
4.                  Filsafat hukum Positivisme,
5.                  Analitik.
Sebagaimana telah dikemukakan, di sini hanya akan diuraikan suatu gambaran umum terikhtisar (oversight) yang sangat sumir, sebab dalam dua nomor berikut akan dicoba untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan inti dari filsafat hukum, setiap kali dari sudut lima pandangan ini. Tentang berbagai pandangan dan nuansa lain, tidak akan dibicarakan.

Apakah Filsafat Hukum Itu ?
Dalam no. 419 (lihat B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm. 29-30.) kami telah mengemukakan bahwa sangat sulit untuk menunjukkan sifat dan filsafat hukum secara umum. Hal itu disebabkan, demikian kami kemukakan, filsafat hukum adalah suatu bagian dari filsafat umum, dan karena setiap uraian tentang arti (definisi) dari “filsafat” sudah mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan (jadi, filsafat) tertentu. Jadi sebenarnya kita terlebih dahulu harus mengetahui sesuatu tentang filsafat.
Menurut pandangan kami, filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia merefleksi terutama tentang segala hal yang ada, tentang “hal ada” dalam keumumannya.
Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal “Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?” Jadi, filsafat adalah hal merefleksi, suatu kegiatan berfikir dan juga memiliki sifat rasional. Itu berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada tesis-tesis dan pemahaman-pemahamannya, dan dalam segi itu ia terbuka bagi kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Memang ia berpretensi bahwa ia dengan putusan-putusannya telah mengungkapkan “keberlakuan secara umum, mencakup kebenaran”. Tanpa pretensi ini, maka filsafat akan tidak bermakna. Tetapi, pretensi ini berlaku “sampai ada bukti melawan”, sampai suatu argumentasi rasional diajukan, yang berdasarkannya ia dapat dibantah. Kemudian berlaku lagi bahwa bantahan itu adalah “benar” sampai terjadi bantahan berikutnya. Dalam arti ini, filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan-diskusi (diskursif) terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya. Jika hal itu berlangsung baik, maka filsafat akan memiliki sifat tidak dogmatis dan dengan demikian tidak terikat pada pendirian-pendirian (yang dimutlakkan), terlepas dari sifat dan isi argumentasi-argumentasi yang diajukan.
Semuanya ini berlaku juga bagi filsafat hukum. Jadi, ia tidak ditujukan, sebagaimana yang telah kita lihat terlebih dahulu, untuk memaparkan, menginterpretasi, menjelaskan hukum yang berlaku, melainkan lebih untuk memahami hukum dalam keumumannya (hukum sebagai demikian, law as such). Filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dan itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Hukum itu adalah suatu bagian dari “kenyataan” dan dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat dari kenyataan itu. Karena itu, filsafat hukum mengandaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika, yaitu disiplin-disiplin yang berupaya untuk memberikan kejelasan dalam arti apa “kenyataan” dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan lebih dari itu bagaimana perilaku manusia berkenaan dengan itu seharusnya dinilai.
Kita sudah melihat bahwa tematik dari filsafat hukum dapat dicakup dalam dua pernyataan inti, yakni, apa landasan dari kekuatan mengikat dari hukum itu ? Dan berdasarkan apa kita dapat menilai “keadilan” (richtigheid, rechtsvaardigheid) dari hukuman itu ?. Bila kita tepat melihatnya, maka penjawaban terhadap dua pernyataan itu bergerak dalam wilayah perbatasan antara hukum dan etika. Filsafat hukum berada di tengah-tengahnya sebab ia menyibukkan diri dengan sifat khas dari aturan-aturan dan kaidah-kaidah perilaku. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah ini dapat memiliki watak yang berbeda-beda. Misalnya etikal, yuridikal, kebiasaan atau cara-cara tertentu, dan sebagainya.
Sebagian dari kaidah-kaidah ini sama, sebagian juga berbeda yang satu dari yang lainnya. Terkait pada hal tersebut muncul sebuah pertanyaan sentral, apakah keterikatan pada berbagai jenis kaidah yang berbeda-beda itu dapat dimotivasi secara abstrak (terpisah, sendiri-sendiri). Atau bahwa hal itu harus dipikirkan dalam perkaitan di antara jenis-jenis kaidah ini ?. Apakah, misalnya ada kaidah etikal yang mewajibkan kita untuk mematuhi kaidah hukum. Dan sejauh mana kaidah-kaidah etikal harus di masukkan ke dalam isi dari hukum ?. Apakah tugas dari hukum untuk memberikan sanksi pada berlakunya etika ?. Juga berkenaan dengan kebiasaan dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan sejenis ?. Apakah mematuhi kebiasaan selalu secara etikal atau secara yuridikal benar ?. Apakah kebiasaan selalu adil ?. Dengan pertanyaan yang terakhir ini kita menyentuh sebuah persoalan yang sejak dahulu juga  dipandang sebagai persoalan etikal, yakni apakah keadilan itu ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermakna tentang keadilan ?. Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermaksan tentang keadilan ?. Atau apakah kita di sini berurusan dengan sebuah “nilai” yang tentang isi atau maknanya kita tidak dapat mengetahui sesuatu apapun.
Persoalan-persoalan tentang keadilan dan keterikatan pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah ini tidak hanya berkaitan dengan gejala-gejala hukum, melainkan memiliki jangkauan yang lebih umum. Ini menyebabkan bahwa kita, walaupun dalam bab satu (lihat halaman 1-19) sudah dikemukakan segala sesuatu tentang berbagai jenis kaidah ini, dalam bab ini juga harus kembali ke sejumlah tema. Tema yang mana yang menjadi objek telaahan filsafat hukum ?
Tentang tema yang paling penting, baru saja kita bicarakan yakni hal mengartikulasikan hubungan antara hukum dan etika. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa pendirian yang dianut orang tentang hubungan ini mewujudkan kreteria untuk pembagian berbagai aliran filsafat hukum. Grosso modo (dalam garis besar) dapat kita kemukakan bahwa pandangan positivistik (dalam arti luas) bertolak dari keyakinan bahwa hukum dan moral secara tajam terpisah yang satu dengan yang lainnya. Itu berarti bahwa menurut pandangan-pandangan ini, hukum positif itu adalah gejala yang mandiri, yang keberlakuan dan maknanya secara murni dapat dilandaskan pada dirinya sendiri. Pemberian landasan berupa asas-asas diatas yang positif (prapositif atau suprapositif) dianggap tidak perlu. Pandangan-pandangan hukum kodrat pada sisi lain tentang hal ini menganut pendirian yang berbeda. Mereka bertolak dari pandangan bahwa keterikatan pada hukum positif dan penilaian terhadap isi dan kualitas dari hukum positif tidak dapat sepenuhnya dimotivasi (dijelaskan) dari sudut hukum positif. Untuk itu harus digunakan kriteria yang tidak didasarkan pada hukum, tetapi harus dimotivasi dengan cara lain. Kita akan segera melihat bahwa penjawaban terhadap dua pertanyaan inti filsafat hukum tergantung pada perspektif dasar filsafat hukum, memiliki suatu sifat yang selalu berubah-ubah (berbeda-beda). Sejumlah besar tema-tema lain dari filsafat hukum berkaitan erat dengan hubungan antara hukum dan etika. Beberapa diantaranya dalam bab ini akan dikemukakan. Berkaitan dengannya kita dapat mempersoalkan landasan dari hak milik, arti dari kesepakatan dan kontrak, hak untuk menghukum. Bertalian dengan itu muncul dalam hubungan-hubungan yang modern berbagai masalah marginal seperti penggunaan rumah yang dibiarkan kosong, pendudukan bangunan umum, penggunaan kekuasaan dan kekerasan (secara sewenang-wenang), berbagai bentuk perlawanan dan kritik terhadap pemerintahan demokratik, dan sebagainya. Dalam berfungsinya suatu tata (tertib) hukum atau demokrasi tidak hanya terletak landasan pemahaman teoritikal pada umumnya, modalitas dari hal berfungsinya ini sangat bergantung pada nuansa-nuansa dalam pemahaman demikian. Sebuah tata hukum bukanlah suatugejala kebetulan atau sewenang-wenang. Ia kurang lebih menyatakan hubungan-hubungan yang niscaya antara keyakinan-keyakinan (inzichten) tertentu. Hukum menghendaki stabilitas dan keadilan, dan dalam suatu tata hukum penetapan tujuan demikian menjadi konkret; hal itu berlaku juga untuk suatu demokrasi: di dalamnya ia berkaitan dengan perwujudan suatu masyarakat yang bebas, yang didalamnya orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara yang mandiri. Apa artinya itu ? Dengan cara bagaimana suatu demokrasi dapat dilegitimasi ? Atas dasar apa ia dapat (atau boleh) melakukan perlawanan terhadap pelanggaran pada landasannya ? Persoalan-persoalan (praktikal) aktual yang demikian hanya dapat ditangani berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, filsafat hukum mutlak diperlukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar