Dalam ruang yang tersedia dalam bab
ini, kita tidak dapat memberikan garis besar dalam sejarah filsafat hukum.
Kemungkinan ini menjadi kurang, karena seperti sudah kami kemukakan, suatu
pandangan filsafat hukum dalam banyak aspek tergantung pada dan ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan kefilsafatan umum. Sejarah filsafat hukum dalam segi
tertentu merupakan sejarah dari filsafat. Kita melakukan seleksi dan memilih
lima pandangan (aliran) filsafat hukum, yang di masa lalu atau masa kini, atau
kedua-duanya harus dianggap relevan. Seleksi itu tidak mengimplikasikan bahwa
kami (sepenuhnya) sependapat dengan aliran-aliran ini, tetapi hanya ingin
mengemukakan bahwa mengetahui sesuatu tentang hal ini berguna untuk para mahasiswa.
Untuk setiap aliran, kami membatasi diri sejauh mungkin hanya pada satu
penulis. Hal ini saja sudah cukup majemuk. Beberapa penulis secara pendek sudah
terlebih dahulu dikemukakan. Dalam paragraf-paragraf berikut ini, kita membahas
berturut-turut :
1.
Aliran Hukum Kodrat
2.
Idialisme Klasik
3.
Marxisme
4.
Filsafat hukum Positivisme,
5.
Analitik.
Sebagaimana telah dikemukakan, di sini
hanya akan diuraikan suatu gambaran umum terikhtisar (oversight) yang
sangat sumir, sebab dalam dua nomor berikut akan dicoba untuk membahas dan
menjawab dua pertanyaan inti dari filsafat hukum, setiap kali dari sudut lima
pandangan ini. Tentang berbagai pandangan dan nuansa lain, tidak akan
dibicarakan.
Apakah Filsafat Hukum Itu ?
Dalam no. 419 (lihat B. Arief
Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, Cet. 4, 2013, hlm.
29-30.) kami telah mengemukakan bahwa sangat sulit untuk menunjukkan sifat dan
filsafat hukum secara umum. Hal itu disebabkan, demikian kami kemukakan,
filsafat hukum adalah suatu bagian dari filsafat umum, dan karena setiap uraian
tentang arti (definisi) dari “filsafat” sudah mengandaikan suatu titik tolak
kefilsafatan (jadi, filsafat) tertentu. Jadi sebenarnya kita terlebih dahulu
harus mengetahui sesuatu tentang filsafat.
Menurut pandangan kami, filsafat adalah
suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia merefleksi
terutama tentang segala hal yang ada, tentang “hal ada” dalam keumumannya.
Filsafat dimulai dengan mempertanyakan
segala hal “Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?” Jadi,
filsafat adalah hal merefleksi, suatu kegiatan berfikir dan juga memiliki sifat
rasional. Itu berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada
tesis-tesis dan pemahaman-pemahamannya, dan dalam segi itu ia terbuka bagi
kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Memang ia
berpretensi bahwa ia dengan putusan-putusannya telah mengungkapkan “keberlakuan
secara umum, mencakup kebenaran”. Tanpa pretensi ini, maka filsafat akan tidak
bermakna. Tetapi, pretensi ini berlaku “sampai ada bukti melawan”, sampai suatu
argumentasi rasional diajukan, yang berdasarkannya ia dapat dibantah. Kemudian
berlaku lagi bahwa bantahan itu adalah “benar” sampai terjadi bantahan
berikutnya. Dalam arti ini, filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi
intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan-diskusi
(diskursif) terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya. Jika
hal itu berlangsung baik, maka filsafat akan memiliki sifat tidak dogmatis dan
dengan demikian tidak terikat pada pendirian-pendirian (yang dimutlakkan),
terlepas dari sifat dan isi argumentasi-argumentasi yang diajukan.
Semuanya ini berlaku juga bagi filsafat
hukum. Jadi, ia tidak ditujukan, sebagaimana yang telah kita lihat terlebih
dahulu, untuk memaparkan, menginterpretasi, menjelaskan hukum yang berlaku,
melainkan lebih untuk memahami hukum dalam keumumannya (hukum sebagai demikian,
law as such). Filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dan
itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi
dari suatu asas yang melandasinya. Hukum itu adalah suatu bagian dari
“kenyataan” dan dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat dari kenyataan
itu. Karena itu, filsafat hukum mengandaikan teori pengetahuan (epistemology)
dan etika, yaitu disiplin-disiplin yang berupaya untuk memberikan kejelasan dalam arti apa “kenyataan”
dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan lebih dari itu bagaimana perilaku
manusia berkenaan dengan itu seharusnya dinilai.
Kita sudah melihat bahwa tematik dari
filsafat hukum dapat dicakup dalam dua pernyataan inti, yakni, apa landasan
dari kekuatan mengikat dari hukum itu ? Dan berdasarkan apa kita dapat menilai
“keadilan” (richtigheid, rechtsvaardigheid) dari hukuman itu ?. Bila kita tepat
melihatnya, maka penjawaban terhadap dua pernyataan itu bergerak dalam wilayah
perbatasan antara hukum dan etika. Filsafat hukum berada di tengah-tengahnya
sebab ia menyibukkan diri dengan sifat khas dari aturan-aturan dan
kaidah-kaidah perilaku. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah ini dapat memiliki
watak yang berbeda-beda. Misalnya etikal, yuridikal, kebiasaan atau cara-cara
tertentu, dan sebagainya.
Sebagian dari kaidah-kaidah ini sama,
sebagian juga berbeda yang satu dari yang lainnya. Terkait pada hal tersebut
muncul sebuah pertanyaan sentral, apakah keterikatan pada berbagai jenis kaidah
yang berbeda-beda itu dapat dimotivasi secara abstrak (terpisah,
sendiri-sendiri). Atau bahwa hal itu harus dipikirkan dalam perkaitan di antara
jenis-jenis kaidah ini ?. Apakah, misalnya ada kaidah etikal yang mewajibkan
kita untuk mematuhi kaidah hukum. Dan sejauh mana kaidah-kaidah etikal harus di
masukkan ke dalam isi dari hukum ?. Apakah tugas dari hukum untuk memberikan
sanksi pada berlakunya etika ?. Juga berkenaan dengan kebiasaan dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan sejenis ?. Apakah mematuhi kebiasaan selalu secara etikal
atau secara yuridikal benar ?. Apakah kebiasaan selalu adil ?. Dengan pertanyaan
yang terakhir ini kita menyentuh sebuah persoalan yang sejak dahulu juga
dipandang sebagai persoalan etikal, yakni apakah keadilan itu ?. Dapatkah
kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermakna tentang keadilan ?.
Dapatkah kita secara rasional mengemukakan sesuatu yang bermaksan tentang
keadilan ?. Atau apakah kita di sini berurusan dengan sebuah “nilai” yang
tentang isi atau maknanya kita tidak dapat mengetahui sesuatu apapun.
Persoalan-persoalan tentang keadilan
dan keterikatan pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah ini tidak hanya berkaitan
dengan gejala-gejala hukum, melainkan memiliki jangkauan yang lebih umum. Ini
menyebabkan bahwa kita, walaupun dalam bab satu (lihat halaman 1-19) sudah
dikemukakan segala sesuatu tentang berbagai jenis kaidah ini, dalam bab ini
juga harus kembali ke sejumlah tema. Tema yang mana yang menjadi objek telaahan
filsafat hukum ?
Tentang tema yang paling penting, baru
saja kita bicarakan yakni hal mengartikulasikan hubungan antara hukum dan
etika. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa pendirian yang dianut orang tentang
hubungan ini mewujudkan kreteria untuk pembagian berbagai aliran filsafat
hukum. Grosso modo (dalam garis besar) dapat kita kemukakan bahwa
pandangan positivistik (dalam arti luas) bertolak dari keyakinan bahwa hukum
dan moral secara tajam terpisah yang satu dengan yang lainnya. Itu berarti
bahwa menurut pandangan-pandangan ini, hukum positif itu adalah gejala yang
mandiri, yang keberlakuan dan maknanya secara murni dapat dilandaskan pada
dirinya sendiri. Pemberian landasan berupa asas-asas diatas yang positif
(prapositif atau suprapositif) dianggap tidak perlu. Pandangan-pandangan hukum
kodrat pada sisi lain tentang hal ini menganut pendirian yang berbeda. Mereka
bertolak dari pandangan bahwa keterikatan pada hukum positif dan penilaian
terhadap isi dan kualitas dari hukum positif tidak dapat sepenuhnya dimotivasi
(dijelaskan) dari sudut hukum positif. Untuk itu harus digunakan kriteria yang
tidak didasarkan pada hukum, tetapi harus dimotivasi dengan cara lain. Kita
akan segera melihat bahwa penjawaban terhadap dua pertanyaan inti filsafat
hukum tergantung pada perspektif dasar filsafat hukum, memiliki suatu sifat
yang selalu berubah-ubah (berbeda-beda). Sejumlah besar tema-tema lain dari
filsafat hukum berkaitan erat dengan hubungan antara hukum dan etika. Beberapa
diantaranya dalam bab ini akan dikemukakan. Berkaitan dengannya kita dapat
mempersoalkan landasan dari hak milik, arti dari kesepakatan dan kontrak, hak
untuk menghukum. Bertalian dengan itu muncul dalam hubungan-hubungan yang
modern berbagai masalah marginal seperti penggunaan rumah yang dibiarkan
kosong, pendudukan bangunan umum, penggunaan kekuasaan dan kekerasan (secara
sewenang-wenang), berbagai bentuk perlawanan dan kritik terhadap pemerintahan
demokratik, dan sebagainya. Dalam berfungsinya suatu tata (tertib) hukum atau
demokrasi tidak hanya terletak landasan pemahaman teoritikal pada umumnya,
modalitas dari hal berfungsinya ini sangat bergantung pada nuansa-nuansa dalam
pemahaman demikian. Sebuah tata hukum bukanlah suatugejala kebetulan atau
sewenang-wenang. Ia kurang lebih menyatakan hubungan-hubungan yang niscaya
antara keyakinan-keyakinan (inzichten) tertentu. Hukum menghendaki
stabilitas dan keadilan, dan dalam suatu tata hukum penetapan tujuan demikian
menjadi konkret; hal itu berlaku juga untuk suatu demokrasi: di dalamnya ia
berkaitan dengan perwujudan suatu masyarakat yang bebas, yang didalamnya
orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara
yang mandiri. Apa artinya itu ? Dengan cara bagaimana suatu demokrasi dapat
dilegitimasi ? Atas dasar apa ia dapat (atau boleh) melakukan perlawanan
terhadap pelanggaran pada landasannya ? Persoalan-persoalan (praktikal) aktual
yang demikian hanya dapat ditangani berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, filsafat hukum mutlak diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar