Apakah dengan memiliki rumah mewah,
istri cantik, dan hidup kaya raya kita sudah dapat dikatakan sukses? Lalu
bagaimana untuk menggapai kesuksesan? Apakah sikap jahat diperlukan untuk
menggapai kesuksesan? Banyak orang dibungungkan dengan pertanyaan ini.
Di dalam bukunya yang berjudul The
No Asshole Rule, Robert Sutton mengajukan bukti-bukti konkret, bahwa sikap
jahat dan brutal dapat membantu orang memperoleh kekuasaan atas orang lain,
serta menciptakan ketakutan bagi para kompetitornya. (dalam Pfeffer, 2010) Juga
dalam organisasi sikap jahat dan brutal dapat memotivasi bawahan untuk
melampaui ketidakmampuan mereka, dan mencapai kesempurnaan.
Dalam analisisnya Pfeffer mengamati,
bahwa orang-orang yang fokus pada pemikiran mereka sering bernafsu untuk
menerapkan ide tersebut ke dalam realitas, tanpa peduli dengan dampak dari
penerapan ide itu bagi orang lain. “Fokus mereka,” demikian tulis Pfeffer,
“…melenyapkan segala yang menghalangi jalan mereka – juga perasaan mereka yang
ada di dalam kategori ini (penghalang).” (Pfeffer, 2010).
Dengan kata lain orang yang memiliki
ide besar sering tidak peduli dengan perasaan serta situasi orang lain, ketika
mereka sedang menerapkan ide itu ke dalam realitas. Mereka menghalalkan cara
apapun untuk mencapai tujuan, walaupun itu dengan menyakiti orang lain.
Pfeffer mengingatkan bahwa
orang-orang hebat di dunia bagaimanapun adalah manusia yang tidak sempurna.
Mereka hidup dengan kelemahan. Mereka memiliki sikap-sikap yang baik, dan juga
yang buruk, pada waktu yang sama. Namun dalam keseharian kita sering menilai
mereka terlalu sempit. Jika mereka berbuat jahat, kita langsung
mengkategorikannya sebagai orang “jahat”. Dan jika mereka berbuat baik, kita
otomatis mengkategorikan mereka sebagai orang “baik”. Sesederhana itu. Namun
bagi Pfeffer cara berpikir ini sangat merugikan. (Pfeffer, 2010)
Ada empat argumen yang diajukannya.
Pertama, sikap sempit ini menutup kemungkinan kita untuk belajar lebih jauh.
Jika orang sudah mencap orang lain sebagai “jahat”, maka ia akan merasa, bahwa
ia tidak akan bisa belajar apapun dari orang itu. Bagi Pfeffer sikap ini salah.
“Kita”, demikian tulisnya, “harus fokus untuk belajar dari setap orang dan dari
setiap situasi.” (Pfeffer, 2010)
Kedua, analisis yang sempit dengan
mengkategorikan orang melulu pada satu kotak, yakni baik atau buruk, dapat
menipu kita. Analisis semacam itu menurut Pfeffer mempersempit perilaku dan
kehidupan manusia yang amat rumit. Sekilas cara pandang sempit sederhana semacam
itu memang terlihat jelas dan mudah dimengerti, namun sebenarnya menutupi
kebenaran itu sendiri yang sebenarnya amat kompleks.
Tiga, analisis sempit membuat kita
tidak bisa menangkap perilaku yang sebenarnya dari orang yang ingin kita
pahami. Ketika sudah mengkotakkan orang ke dalam satu kategori, maka kita
berhenti untuk melihat perilaku apa adanya dari orang tersebut, dan memilih
untuk menyerap segala sesuatu yang ia lakukan sesuai dengan kotak yang telah
kita punya. Akibatnya sikap kita jadi tidak obyektif. Interaksi kita dengannya
pun menjadi tidak sehat, karena kita sudah tertutup oleh prasangka.
Empat, bagi Pfeffer kotak jahat dan
baik itu seringkali menipu. Kita lupa bahwa orang paling suci di dunia pun
selalu memiliki sisi gelap dan jahat. Manusia itu tidak sempurna. Ia memiliki
cacat dan justru itu yang membuatnya menjadi manusia. Yang perlu dibangun
adalah keyakinan, bahwa orang-orang yang tidak sempurna juga dapat melakukan
hal-hal baik. “Para pemimpin, orang-orang lainnya,” demikian Pfeffer, “yang
mengenali bahwa baik dan jahat ada di dalam diri setiap manusia, akan lebih
bijaksana, tidak terlalu percaya diri, dan lebih rendah hati.” (Pfeffer, 2010)
Di dalam film maupun dongeng-dongeng
di seluruh dunia, ada dua kubu yang selalu bertentangan, yakni si baik dan si
jahat. Pelaku bisnis tidak bisa secara sederhana dikategorikan di dalam dua
kotak sederhana itu. Begitu pula praktek bisnis yang sukses tidak bisa hanya
dijalankan dengan menilai seturut dua kategori yang simplistik tersebut.
Di akhir tulisannya Pfeffer
menyatakan, “jika kita ingin memahami perilaku sosial,.. kita akan jauh lebih
mengenali bahwa kunci menuju sukses tidak bisa sesederhana itu.” (Pfeffer,
2010) Tidak ada jalan pintas untuk mencapai sukses, entah itu jalan baik atau
jalan buruk. Kita hanya perlu menjadi manusia, dengan segala sisi baik dan sisi
jahatnya.
Beberapa prinsip yang perlu diingat :
Kamu harus :
1.
Memahami
kerumitan manusia sebagai mahluk yang sekaligus baik dan jahat
2.
Belajar
dari siapapun termasuk yang kamu anggap lebih bodoh atau kurang darimu.
3.
Mencoba
obyektif dalam memahami orang sekitarmu
4.
Memahami
bahwa orang suci pun adalah manusia yang tidak sempurna.
Kamu tidak boleh:
1.
Mengkategorikan
orang sebagai jahat atau baik secara simplistik
2.
Berhenti
belajar dari orang-orang sekitarmu, apapun latar belakang mereka.
3.
Menilai
orang dengan prasangka atau emosi sesaat yang sempit.
4.
Mencari
jalan pintas untuk mencapai sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar