Selasa, 27 Desember 2016

Sukses Itu Tidak Sederhana


Apakah dengan memiliki rumah mewah, istri cantik, dan hidup kaya raya kita sudah dapat dikatakan sukses? Lalu bagaimana untuk menggapai kesuksesan? Apakah sikap jahat diperlukan untuk menggapai kesuksesan? Banyak orang dibungungkan dengan pertanyaan ini.
Di dalam bukunya yang berjudul The No Asshole Rule, Robert Sutton mengajukan bukti-bukti konkret, bahwa sikap jahat dan brutal dapat membantu orang memperoleh kekuasaan atas orang lain, serta menciptakan ketakutan bagi para kompetitornya. (dalam Pfeffer, 2010) Juga dalam organisasi sikap jahat dan brutal dapat memotivasi bawahan untuk melampaui ketidakmampuan mereka, dan mencapai kesempurnaan.
Dalam analisisnya Pfeffer mengamati, bahwa orang-orang yang fokus pada pemikiran mereka sering bernafsu untuk menerapkan ide tersebut ke dalam realitas, tanpa peduli dengan dampak dari penerapan ide itu bagi orang lain. “Fokus mereka,” demikian tulis Pfeffer, “…melenyapkan segala yang menghalangi jalan mereka – juga perasaan mereka yang ada di dalam kategori ini (penghalang).” (Pfeffer, 2010).
Dengan kata lain orang yang memiliki ide besar sering tidak peduli dengan perasaan serta situasi orang lain, ketika mereka sedang menerapkan ide itu ke dalam realitas. Mereka menghalalkan cara apapun untuk mencapai tujuan, walaupun itu dengan menyakiti orang lain.
Pfeffer mengingatkan bahwa orang-orang hebat di dunia bagaimanapun adalah manusia yang tidak sempurna. Mereka hidup dengan kelemahan. Mereka memiliki sikap-sikap yang baik, dan juga yang buruk, pada waktu yang sama. Namun dalam keseharian kita sering menilai mereka terlalu sempit. Jika mereka berbuat jahat, kita langsung mengkategorikannya sebagai orang “jahat”. Dan jika mereka berbuat baik, kita otomatis mengkategorikan mereka sebagai orang “baik”. Sesederhana itu. Namun bagi Pfeffer cara berpikir ini sangat merugikan. (Pfeffer, 2010)
Ada empat argumen yang diajukannya. Pertama, sikap sempit ini menutup kemungkinan kita untuk belajar lebih jauh. Jika orang sudah mencap orang lain sebagai “jahat”, maka ia akan merasa, bahwa ia tidak akan bisa belajar apapun dari orang itu. Bagi Pfeffer sikap ini salah. “Kita”, demikian tulisnya, “harus fokus untuk belajar dari setap orang dan dari setiap situasi.” (Pfeffer, 2010)
Kedua, analisis yang sempit dengan mengkategorikan orang melulu pada satu kotak, yakni baik atau buruk, dapat menipu kita. Analisis semacam itu menurut Pfeffer mempersempit perilaku dan kehidupan manusia yang amat rumit. Sekilas cara pandang sempit sederhana semacam itu memang terlihat jelas dan mudah dimengerti, namun sebenarnya menutupi kebenaran itu sendiri yang sebenarnya amat kompleks.
Tiga, analisis sempit membuat kita tidak bisa menangkap perilaku yang sebenarnya dari orang yang ingin kita pahami. Ketika sudah mengkotakkan orang ke dalam satu kategori, maka kita berhenti untuk melihat perilaku apa adanya dari orang tersebut, dan memilih untuk menyerap segala sesuatu yang ia lakukan sesuai dengan kotak yang telah kita punya. Akibatnya sikap kita jadi tidak obyektif. Interaksi kita dengannya pun menjadi tidak sehat, karena kita sudah tertutup oleh prasangka.
Empat, bagi Pfeffer kotak jahat dan baik itu seringkali menipu. Kita lupa bahwa orang paling suci di dunia pun selalu memiliki sisi gelap dan jahat. Manusia itu tidak sempurna. Ia memiliki cacat dan justru itu yang membuatnya menjadi manusia. Yang perlu dibangun adalah keyakinan, bahwa orang-orang yang tidak sempurna juga dapat melakukan hal-hal baik. “Para pemimpin, orang-orang lainnya,” demikian Pfeffer, “yang mengenali bahwa baik dan jahat ada di dalam diri setiap manusia, akan lebih bijaksana, tidak terlalu percaya diri, dan lebih rendah hati.” (Pfeffer, 2010)
Di dalam film maupun dongeng-dongeng di seluruh dunia, ada dua kubu yang selalu bertentangan, yakni si baik dan si jahat. Pelaku bisnis tidak bisa secara sederhana dikategorikan di dalam dua kotak sederhana itu. Begitu pula praktek bisnis yang sukses tidak bisa hanya dijalankan dengan menilai seturut dua kategori yang simplistik tersebut.
Di akhir tulisannya Pfeffer menyatakan, “jika kita ingin memahami perilaku sosial,.. kita akan jauh lebih mengenali bahwa kunci menuju sukses tidak bisa sesederhana itu.” (Pfeffer, 2010) Tidak ada jalan pintas untuk mencapai sukses, entah itu jalan baik atau jalan buruk. Kita hanya perlu menjadi manusia, dengan segala sisi baik dan sisi jahatnya.
Beberapa prinsip yang perlu diingat   :

Kamu harus   :
1.                  Memahami kerumitan manusia sebagai mahluk yang sekaligus baik dan jahat
2.                  Belajar dari siapapun termasuk yang kamu anggap lebih bodoh atau kurang darimu.
3.                  Mencoba obyektif dalam memahami orang sekitarmu
4.                  Memahami bahwa orang suci pun adalah manusia yang tidak sempurna.

Kamu tidak boleh:
1.                  Mengkategorikan orang sebagai jahat atau baik secara simplistik
2.                  Berhenti belajar dari orang-orang sekitarmu, apapun latar belakang mereka.
3.                  Menilai orang dengan prasangka atau emosi sesaat yang sempit.

4.                  Mencari jalan pintas untuk mencapai sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar