Kebenaran merupakan hal penting
dalam hidup setiap orang. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan
kepalsuan. Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan dalam
hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran. Hal yang sama berlaku
di dalam politik. Hidup bersama tentu membutuhkan aturan. Namun, aturan
tersebut tidak boleh berpijak pada semata kekuasaan belaka, melainkan pada
keadilan dan kebenaran. Tanpa keadilan dan kebenaran, tata politik akan
bermuara pada perang dan kehancuran semua pihak. Banyak orang bilang, hal
terpenting dalam hidup adalah cinta. Banyak juga agama dan filsafat yang
mengajarkan itu. Namun, cinta tidak boleh disamakan melulu dengan memanjakan.
Cinta juga harus tetap berpijak pada kebenaran, yang memang seringkali perlu
disampaikan dengan cara-cara yang kurang bersahabat. Namun, pertanyaan mendasar
kemudian muncul. Mungkinkah kita sebagai manusia memahami kebenaran? Mungkinkah
pikiran dan kemampuan kita yang terbatas memahami dan menerapkan kebenaran di
dalam hidup sehari-hari kita? Inilah salah satu pertanyaan mendasar di dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan.
A. Dekonstruksi
Jacques Derrida, seorang filsuf
Prancis di abad 20, mengajukan pendapat menarik soal kebenaran. Baginya, kebenaran
selalu terkait dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang
mutlak dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan itu
sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa dekonstruksi merupakan sebuah
teori tentang kebenaran. Dekonstruksi hendak mengritik tradisi Logosentrisme di
dalam filsafat Eropa. Logosentrisme menekankan kepastian keberadaan dari simbol
dan bahasa yang kita gunakan di dalam berpikir. Kita, dari sudut pandang
Logosentrisme, memahami dunia lewat simbol dan kata. Simbol dan kata itu
mewakili sesuatu yang nyata di dunia, yang bisa dirumuskan dan diketahui secara
pasti melalui simbol dan konsep yang kita gunakan. Derrida berpendapat, bahwa
Logosentrisme itu salah kaprah. Simbol dan bahasa yang kita gunakan tidak
otomatis mewakili apa yang ada secara nyata di dunia. Simbol dan bahasa
tersebut adalah suatu sistem mandiri yang kita bangun lewat pikiran dan
komunikasi. Oleh karena itu, Derrida kemudian mencoba melampaui Logosentrisme
dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan, yakni sisi dekonstruksi.
Dekonstruksi adalah metode yang
digunakan oleh Derrida untuk menekankan, bahwa bahasa dan simbol tidak pernah
bisa mewakili kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti.
Dekonstruksi sebenarnya sudah selalu berada di dalam teks. Ia berada dalam
bentuk ketidakpastian yang mengaburkan makna teks, dan membuatnya terbuka untuk
berbagai kemungkinan tafsiran. Dalam arti ini, teks tidak hanya berarti
tulisan, tetapi juga kenyataan itu sendiri. Bahasa dan simbol adalah alat-alat
yang digunakan oleh pikiran manusia untuk memahami kenyataan. Karena bahasa dan
simbol selalu berubah dan tidak pasti, pemahaman kita akan kenyataan pun selalu
berubah dan tidak pasti. Ketidakpastian ini sudah tertanam di dalam bahasa dan
simbol yang kita ciptakan. Dekonstruksi bergerak dengan dua pola, yakni
pembedaan dan penundaan. Membedakan berarti mengaktivkan ketidakstabilan di
dalam teks yang menghasilkan pemahaman yang berbeda atas kata ataupun kalimat
yang sama. Satu simbol atau satu kata bisa dibaca dengan beragam cara yang
berbeda, bahkan saling bertentangan. Dekonstruksi hendak mendorong pembedaan
semacam ini. Penundaan berarti gerak dekonstruksi yang menunda kepastian makna
yang ada. Kata dan simbol hendak digerakkan sedemikian rupa, sehingga tidak ada
kepastian yang dihasilkan dari hubungan yang ada. Makna pun menjadi ambigu, dan
terbuka untuk gerak dekonstruksi lebih jauh. Orang berhenti merumuskan apa yang
sesungguhnya tak bisa dirumuskan, yakni kebenaran tentang teks itu sendiri.
B. Kebenaran
Metode dekonstruksi melihat
kebenaran hanya sebagai jejak. Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada
dirinya sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia
hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya dengan utuh dan
penuh. Dalam arti ini, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan
terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan peristiwa. Ia
selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai muncul kemungkinan lain
yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi adalah proses yang terus bergerak tanpa
henti dari dalam diri teks itu sendiri. Kebenaran pun lalu dilihat sebagai
tafsiran. Ia menafsirkan ulang dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti.
Pembaca dan pengarang hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang
selalu sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang digunakan manusia untuk
memahami kenyataan. Pada satu titik, dekonstruksi bergerak melampaui dirinya
sendiri, dan mengajak orang untuk masuk ke ranah sebelum kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar