Ketika Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesian 1945 yang lalu, ada dua hal yang ada di dalam pikiran mereka, yakni
kebebasan dan kemakmuran. Keduanya menjadi mimpi besar, tidak hanya untuk
mereka berdua, tetapi juga untuk para bapak bangsa lainnya, seperti Sutan
Sjahrir, Muhammad Yamin, dan sebagainya. Dengan kebebasan di tangan, bangsa
Indonesia lalu mulai bisa membangun dirinya ke arah keadilan dan kemakmuran
bagi semua warganya. Kebebasan dianggap sebagai jembatan emas menuju masyarakat
yang paripurna. (Latif, 2011)
Sebagai manusia seutuhnya tentu kita juga ingin bebas yaitu dengan
tidak adanya keterikatan antara yang lain, dapat menentukan hidup kita sesuai dengan
keinginan, juga ingin hidup aman, bebas dari rasa takut dan cemas atas hal-hal
di luar diri kita. Keinginan untuk bebas tertanam secara alamiah di dalam jiwa
manusia.
Penelitian yang dilakukan Institut für
Gesellschaftspolitik di Jerman menunjukkan satu hal, bahwa kebebasan (Freiheit)
merupakan nilai tertinggi di dalam masyarakat Jerman sekarang ini. (Reder, et.al,
2014) Hidup tak ada artinya, jika tidak ada kebebasan. Seluruh sistem politik
dan ekonomi Jerman memang dirancang untuk bisa menampung cita-cita kebebasan
semacam ini. Tentu, tidak ada sistem yang sempurna yang tidak lagi membutuhkan
refleksi ulang.
Kebebasan dianggap berharga, setidaknya karena dua hal.
Pertama, kebebasan, seperti pandangan Sukarno dan Hatta, adalah jalan menuju
cita-cita yang lebih tinggi, seperti keadilan dan kemakmuran. Selama suatu
bangsa masih hidup dalam penjajahan, ia tidak akan bisa merasakan keadilan dan
kemakmuran. Selama orang masih hidup dalam penjajahan tradisi ataupun tirani
“kata masyarakat”, ia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan.
Kedua, kebebasan juga dianggap sebagai sesuatu yang bernilai
pada dirinya sendiri. Kebebasan bukanlah alat untuk mencapai tujuan lain.
Sebaliknya, kebebasan adalah tujuan itu sendiri. Pandangan semacam ini mengakar
amat dalam di dalam masyarakat Eropa dan AS sekarang ini. Tanpa kebebasan,
manusia belumlah sungguh menjalani hidupnya.
Kebebasan Batin
Namun, apa sesungguhnya arti kebebasan? Tentu, ada beragam
upaya untuk menjawab pertanyaan ini. Ada beragam bentuk, mulai dari kebebasan
politik, kebebasan ekonomi, kebebasan budaya, dan sebagainya. Namun, semua
paham kebebasan itu berpijak pada kebebasan lainnya yang amat mendasar, yakni
kebebasan batin. Kebebasan batin adalah kebebasan paling tinggi yang bisa
dicapai oleh manusia, dan menjadi dasar bagi kebebasan-kebebasan lainnya.
Namun, apa arti dari kebebasan batin? Belajar dari Anthony
de Mello di dalam bukunya yang berjudul Awareness, A de Mello Spirituality
Conference in His Own Words, kebebasan batin dapat dipahami sebagai
kebebasan dari keterkondisian batin, atau kebebasan dari “program-program”
batin kita. (De Mello, 1990) Sedari kecil, kita diajar bagaimana cara berpikir,
cara merasa, dan cara bertindak. Kita menelan semua itu, tanpa sikap kritis,
dan kini menjadi bagian dari diri kita.
Semua “program” ini lalu menjadi pola hidup kita. Ketika
kita mendapat masalah, kita lalu merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan
“program” yang kita punya. Ketika kita mengalami hal baik, kita pun merasa,
berpikir dan bertindak sesuai dengan “program” tersebut. Bahkan, pemahaman kita
tentang apa itu “masalah” dan apa yang merupakan “berkah” juga ditentukan oleh
“program” yang kita terima dari masyarakat kita, dan kita telan mentah-mentah
begitu saja. Kita pun melihat dunia tidak dengan apa adanya dunia itu, tetapi
dengan “program” yang kita punya.
Segala bentuk perasaan, seperti sedih, senang, marah, dan
sebagainya, adalah “program” hasil dari bentukan masyarakat kita. Misalnya,
ketika seseorang meninggal, kita “diajarkan” oleh masyarakat kita untuk sedih.
Ketika mendapat bonus dari perusahaan, kita “diajarkan” untuk menjadi senang,
bahkan mengadakan pesta dengan keluarga dan sahabat. Emosi dan perasaan, serta
cara kita memaknai dan menanggapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, bukanlah
sesuatu yang alamiah, melainkan bentukan dari masyarakat kita.
Jadi, ketika kita sedih, bukan karena suatu peristiwa
membuat kita sedih, tetapi karena kita “diajarkan” untuk sedih, ketika
mengalami peristiwa semacam itu. Dan sebaliknya, ketika kita senang, bukan
karena suatu peristiwa membuat kita senang, tetapi karena kita “diajarkan”
sejak kecil untuk merasa senang, ketika mengalami peristiwa tersebut. Inilah
yang disebut sebagai “program” yang membuat seluruh batin kita tidak bebas
untuk memahami dunia apa adanya. De Mello bahkan menyebutnya sebagai proses cuci
otak, bahkan hipnosis.
Apa dampak “program” ini bagi hidup kita? Kita menjadi tidak
stabil. Emosi kita diombang ambingkan oleh berbagai peristiwa. Kita menjadi
begitu reaktif terhadap berbagai peristiwa. Pendek kata, kita tidak akan pernah
menemukan kedamaian, selama kita belum sadar akan “program-program” yang ada di
kepala kita. Kita akan terus hidup dalam penderitaan dan kesenangan sesaat yang
bersifat semu.
Padahal, manusia, sejatinya, yakni sebelum ia “diprogram”
(atau dihipnosis dan dicuci otaknya oleh masyarakat), adalah mahluk yang bebas
dan bahagia. (Rousseau, 1979) Kita semua sejatinya adalah mahluk yang
berbahagia. Lihatlah anak kecil, sebelum ia “diprogram” oleh keluarga maupun
komunitasnya. Ia begitu bahagia. Ia melihat dunia apa adanya, menerima semua
apa adanya, tanpa penilaian, tanpa ketakutan, tanpa kecemasan. Ia menjalani
hidup apa adanya, tanpa harapan dan ketakutan yang berlebihan.
Yang kita perlu lakukan untuk mencapai kebebasan batin
adalah menyadari semua “program” yang telah ditanamkan pada kita sepanjang
hidup kita. Ada “program” lama yang kita terima, sewaktu kita kecil. Ada
“program” baru yang baru saja kita terima dan melekat di dalam diri kita,
karena beberapa peristiwa yang kita alami. Kita tidak boleh melawan “program”
itu. Cukup disadari saja. Ketika “program” ini dilawan, kita justru akan
semakin menderita, dan terjebak pada “program” baru lainnya.
Saya beri contoh sederhana. Beberapa hari yang lalu, kaki
saya terbentur meja. Sakit sekali. Biasanya, ketika saya belum menyadari
“program” saya, saya akan marah dan bahkan memaki meja itu. Karena marah, sakit
di kaki pun lalu semakin bertambah. Dalam hati, saya menyadari, bahwa “marah
karena terbentur meja” adalah “program” yang saya miliki, berkat didikan dan
pengalaman selama bertahun-tahun. Kesadaran ini membuat saya tenang. Saya tidak
lagi marah.
Kaki tetap memar dan sakit, tetapi itu tidak lagi menjadi
masalah buat saya. Tinggal diobati saja, lalu semua beres. Tidak perlu marah.
Tidak perlu sedih. Tidak perlu frustasi. Cukup disadari dari diamati saja semua
“program” yang bercokol di kepala kita. Jangan dilawan. (Sudrijanta, 2012)
Kata menyadari dan mengamati diri menjadi amat penting
disini. Di dalam bukunya yang berjudul Die Kunst sich selbst auszuhalten,
Ein Weg zur inneren Freiheit, Michael Bordt berpendapat, bahwa pengamatan
diri (Selbstbeobachtung) dan persepsi diri (Selbstwahrnehmung)
adalah kunci untuk menjalani hidup yang bermakna, yakni hidup yang bebas.
(Bordt, 2013) Hal ini memang sulit, karena kita diajak untuk keluar dari
keramaian dunia, dan melakukan pengamatan diri atas diri kita sendiri, guna
sampai pada kesadaran. Banyak orang menghindarinya, sehingga mereka tetap hidup
dalam pola berayun “senang sesaat” dan “sedih mendalam”.
Peran Kesadaran Diri
Apa yang diajarkan oleh De Mello dan Bordt adalah inti dari
kebebasan itu sendiri, yakni kebebasan batin. Kebebasan politis, kebebasan
ekonomis, dan kebebasan kultural tidak ada artinya, jika orang tidak mencapai
kebebasan batin. Kebebasan batin memiliki nilai pada dirinya sendiri. Namun, ia
tidak muncul dari usaha manusia untuk mengejar “ide tentang kebebasan batin”,
melainkan dari upaya manusia untuk menjadi sadar akan keterkondisiannya,
yakni akan “program-program” yang bercokol di dalam dirinya, yang membuatnya
sensitif dan tak bahagia di dalam menjalani hidup.
Sudrijanta juga mengingatkan, bahwa kata “kesadaran” disini
haruslah dipahami secara tepat. (Sudrijanta, 2012) Kesadaran bukanlah kesadaran
pengetahuan yang berpijak pada kemampuan intelejensi manusia (consciousness),
melainkan kesadaran yang bersifat eksistensial dan mistikal (awareness).
Kesadaran intelektual (consciousness) berguna untuk memahami alam dengan
kaca mata filsafat atau ilmu pengetahuan. Sementara, kesadaran eksistensial (awareness)
adalah inti dari kebebasan batin.
Dengan kesadaran eksistensial, kita lalu bisa menjadi diri
kita apa adanya, yakni diri yang bahagia (bukan senang sesaat). Kita pun bisa
melihat dunia apa adanya, tanpa penilaian yang menghasilkan harapan berlebihan,
atau justru kekecewaan yang mendalam. Ingatlah, bahwa “kesedihan” dan
“kesenangan” adalah bentukan dari “program-program” yang kita dapatkan dalam
hidup kita. Itu bukanlah kenyataan yang sejati, melainkan hanya emosi sesaat
yang datang dan pergi dalam sekejap mata. Ia semu dan palsu.
Implikasinya
Pada titik ini, kita bisa merumuskan ulang apa arti
pendidikan dalam hidup manusia. Pendidikan adalah proses untuk mencapai
pencerahan, dan pencerahan adalah kebebasan batin itu sendiri. Maka, pendidikan
dapat dilihat sebagai proses untuk menyadari “program-program” di dalam diri
kita yang menentukan cara kita merasa, cara kita berpikir, bahkan cara kita
hidup. Pendidikan adalah penyadaran, atau “deprogramisasi”.
Apakah paham tentang kebebasan ini terlalu individualistik?
Apakah ia tidak punya dampak politis untuk perbaikan kehidupan bermasyarakat?
Apakah paham kebebasan batin ini hanya merupakan pelarian semata dari hidup di
dunia politik dan ekonomi yang penuh dengan kekejaman dan ketidakadilan? Apakah
paham kebebasan batin ini hanya merupakan selubung dari sikap pengecut akan
dunia?
Saya menjawab semua pertanyaan itu dengan satu kata, yakni
tidak. Justru sebaliknya, kebebasan batin memiliki dampak politis yang lebih
besar dari semua teori filsafat politik lainnya. Ia melepaskan orang dari
fanatisme pada paham tertentu (organisasi-organisasi teroris), sehingga ia bisa
berpikiran terbuka. Ia juga melepaskan sikap keras kepala pada paham tertentu
yang menutup jalan bagi semua dialog untuk mencapai perdamaian (misalnya antara
Israel dan Palestina, atau perang di Suriah). (Margalit, 2010) Semua teori
ekonomi, filsafat ataupun politik yang masih dibebani oleh “program-program”
masa lalu justru menghambat perdamaian, dan menghasilkan ketegangan maupun
konflik lainnya.
Sebagai pribadi, kita pun bisa dengan hati yang ringan dan
damai ambil bagian dalam memperbaiki masyarakat kita. Kita tidak lagi dibebani
oleh kepentingan diri dan kebutuhan akan nama baik atau ketenaran. Kita “sudah
selesai” dengan hal-hal semacam itu. (Wattimena, 2013) Kita akan menjadi
manusia yang murni yang siap menyelesaikan masalah-masalah hidup dengan tenang
dan efektif, baik masalah pribadi maupun masalah bersama. Tidak ada yang lebih
praktis dan politis daripada kebebasan batin!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar