Dalam dunia sosial, orang dapat begitu saja terlarut di
dalam publik, kerumunan, dan sistem sosial, sehingga lupa pada pencarian
identitas dan otentisitas hidupnya. Negara yang menghomogenisasi rakyatnya dari
sudut agama maupun etnik, atau lingkungan kerja otoriter, yang menuntut
kesetiaan total dari seorang individu, merupakan musuh bagi identitas serta
otentisitas hidup seseorang. Resiko yang dapat muncul jika orang hidup di
lingkungan seperti itu adalah kehilangan jati diri. Jika sudah seperti itu,
orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa
yang dipikirkannya. Bahkan, individu-individu yang sudah hidup terlarut di
dalam ayunan sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya dengan
sistem tersebut.
Mungkin, manusia memang lebih senang hidup terlarut dalam
sistem, daripada menyatakan siapa dirinya. Di dalam sistem, individu tidak
pernah kesepian, ia selalu berada bersama rekan yang lain, sehingga ia tak
perlu berjuang sendiri melawan arus. Ia akan selamat hanya dengan mengikuti
saja arus yang mengalir. Tentu saja, ia tidak akan peduli jika hidup yang
dihayati hanya begitu-begitu saja, tanpa gairah untuk menghidupinya.
Hidup begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam
kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai manusia itulah yang
paling sulit. Menurut Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, manusia
adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di
sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri.
Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk
hasrat-hasrat spontan, yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi
akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya
ke masa depan. Kesadaran, dengan demikian, menjadi basis bagi kebebasan manusia
untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar