Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan bunga dan duri.
Ini tidak dapat disangkal. Setiap orang mengalami masa-masa gelap dalam
hidupnya. Namun, disela-sela masa-masa itu, mereka pun menemukan kebahagiaan.
Banyak orang yang lelah dengan perjalanan ini. Bagaimana
mungkin saya bisa merasa bahagia, ketika saya tahu, ini semua hanya sementara,
dan besok atau mungkin nanti sore, musibah lain akan datang menimpa saya?
Orang-orang seperti ini lalu mencari cara untuk melampaui jatuh bangunnya kehidupan.
Ada beragam cara, mulai dari menggunakan narkoba (ganja, heroin, ampfetamin),
belanja gila-gilaan (konsumtivisme?), menjadi pengguna jasa pelacuran tetap
(sex sampai mati untuk menutupi kesedihan?), menumpuk kekayaan (kalau perlu
dengan korupsi?), pencarian segala bentuk kenikmatan lainnya (pesta setiap
malam atau makan tanpa henti?), sampai dengan bunuh diri.
Pertanyaan penting disini adalah, apakah harus seperti itu?
Apakah hidup itu harus selalu jatuh bangun dan naik turun? Apakah ada cara
hidup yang lain? Untuk menjawab ini, kita perlu untuk menengok pemikiran
Seneca.
Seneca adalah salah satu filsuf Yunani Kuno yang hidup pada
1 sampai 65 setelah Masehi. Ia menulis buku De Vita Beata (tentang Hidup
yang Bahagia), yang merupakan kumpulan surat kepada kakaknya, Gallio, pada
58. Bagi para ahli pemikiran Yunani Kuno, ini merupakan buku terpenting yang
pernah ditulis oleh Seneca. Dari tulisan ini, kita bisa melihat, bahwa Seneca
bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga penulis yang memiliki gaya yang indah
dan memikat.
Tulisan ini terdiri dari 36 halaman. Tema utamanya adalah
soal kebahagiaan. Di dalam buku ini, Seneca memiliki pandangan yagn berbeda
dengan Epikuros. Bagi Seneca, hidup yang bahagia adalah hidup yang berjalan
harmonis dan alamiah. Kebahagiaan tidaklah terkait dengan kenikmatan, tetapi
dengan keutamaan, yakni hidup yang secara alami sesuai dengan gerak dan
hukum-hukum alam.
Kenikmatan seringkali menjadi godaan bagi orang, sehingga ia
tidak lagi mengejar keutamaan. Maka, dorongan untuk meraih kenikmatan haruslah
diatur, atau bahkan sungguh-sungguh dilawan. Pada satu titik, orang lalu tidak
lagi memilih, apakah ia mencari kenikmatan atau penderitaan lagi. Ia menjadi
bebas dari segala bentuk kecenderungan emosi manusia, lalu menjadi pasrah dan
menerima hidup apa adanya.
Inilah kebahagiaan yang sejati, menurut Seneca, yakni ketika
orang tidak lagi memilih rasa sakit atau rasa nikmat, melainkan menjadi bebas
dari keduanya. Ia tidak lagi terpengaruh oleh keduanya. Ia menjadi tenang
sepenuhnya. Ia tidak merasa sedih sekaligus tidak merasa senang, walau dunia
sekitarnya terus berubah.
Hidup adalah rangkaian peristiwa. Ada peristiwa yang sedih
dan ada yang peristiwa yang menyenangkan. Orang tidak boleh memilih salah satu
dari antara keduanya, jika ia ingin sampai pada kebahagiaan. Kebahagiaan hanya
dapat diraih, jika orang mampu menerima semua peristiwa dengan lapang dada,
tanpa memilih apapun. Inilah inti utama dari keutamaan yang dinyatakan Seneca,
yang nantinya banyak dikenal sebagai sikap Stoik.
Sikap Stoik (Seneca juga dikenal sebagai seorang pemikiran
Stoa) berusaha untuk membuat kita tak gelisah dengan hal-hal yang berubah dalam
hidup. Ketika kita mendapat keberuntungan, kita gembira sekali. Namun, ketika
musibah datang, dan musibah PASTI datang, kita lalu merasakan sedih yang sangat
dalam. Keduanya, menurut Seneca, adalah tanda, bahwa manusia belum sampai pada
apa yang yang sejati, yakni kebebasan batin itu sendiri.
Keduanya harus dihindari. Keduanya haruslah disingkirkan
dari pikiran. Kita perlu untuk mencari yang lebih tinggi dari keduanya, yakni
ketenangan batin yang tidak berpihak pada kesedihan ataupun kesenangan.
Ketenangan yang lahir dari kebebasan jiwa, dan bukan dari ledakan emosi-emosi
sesaat belaka.
Ketenangan dan kebebasan batin semacam itu hanya dapat diperoleh, jika
orang hidup sesuai dengan hukum-hukum alam. Artinya, orang itu bersikap pasrah
pada apa yang terjadi padanya, karena alam sudah selalu tahu, apa yang terbaik
untuk orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar