Rabu, 28 Desember 2016

Hakekat Identitas


Apakah label identitas itu? Apakah sungguh nyata? Ataukah, ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.
Identitas itu sementara, karena ia akan berubah. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label tersebut, jika ia mau. Bahkan, karena luasnya pergaulan seseorang, ia bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.
Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara. Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau bahkan melepasnya sama sekali.
Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah belah, sehingga saling berkonflik satu sama lain. Identitas juga menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.
Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk diskriminasi, konflik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, karena ia amat sementara dan begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan diri pada label-label identitas yang diciptakan masyarakat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konflik bukanlah perbedaan identitas, tetapi kesalahan di dalam memahami perbedaan identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang konflik akan terus menghantui.

Melampaui Identitas
Jika identitas adalah sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh melekat padanya. Kita boleh menggunakannya, guna membantu orang lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.
Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu cara berpikir yang salah yang tersebar di masyarakat kita.
Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun tidak punya alasan untuk merasa terhina, ketika orang lain menghina salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk berkonflik dengan orang lain, karena alasan yang tidak masuk akal, misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.
Ketika sadar, bahwa identitas kita adalah ilusi, kita pun otomatis menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi, jika pekerjaan kita gagal, atau ketika agama, ras, suku, negara dan profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa dilampaui dengan ketenangan batin.
Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat marah, ketika salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain? Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, ketika salah satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar