Apakah
label identitas itu? Apakah sungguh nyata? Ataukah, ia hanya label sementara
yang ditempelkan kepada kita sejak kita kecil, tanpa kita punya pilihan untuk
mengubahnya? Saya melihat dua karakter dasar dari label identitas, yakni
kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya
artinya ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.
Identitas itu sementara, karena ia akan berubah.
Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran
pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari
suatu ras, suku atau agama, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua
label tersebut, jika ia mau. Bahkan, karena luasnya pergaulan seseorang, ia
bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.
Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat
sementara. Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau bahkan
melepasnya sama sekali.
Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa
terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah belah,
sehingga saling berkonflik satu sama lain. Identitas juga menciptakan
perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.
Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk
diskriminasi, konflik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan ini
menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. Padahal,
sejatinya, identitas itu ilusi, karena ia amat sementara dan begitu rapuh.
Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan diri pada label-label
identitas yang diciptakan masyarakat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konflik bukanlah
perbedaan identitas, tetapi kesalahan di dalam memahami perbedaan identitas.
Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak perlu terjadi, jika
orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya pada label identitas tertentu.
Sejauh manusia masih melihat dirinya di dalam kotak-kotak label identitas,
selama itu pula bayang-bayang konflik akan terus menghantui.
Melampaui
Identitas
Jika identitas adalah sementara dan rapuh, maka sebaiknya,
kita tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh melekat
padanya. Kita boleh menggunakannya, guna membantu orang lain. Namun, kita tidak
pernah boleh terjebak di dalamnya.
Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka
berpegang begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan pada
aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, maka mereka akan
mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu cara berpikir yang salah yang
tersebar di masyarakat kita.
Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita
lalu menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun tidak
punya alasan untuk merasa terhina, ketika orang lain menghina salah satu label
identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk berkonflik dengan orang lain,
karena alasan yang tidak masuk akal, misalnya penghinaan pada salah satu label
identitas kita.
Ketika sadar, bahwa identitas kita adalah ilusi, kita pun
otomatis menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau
depresi, jika pekerjaan kita gagal, atau ketika agama, ras, suku, negara dan
profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi segala
tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa dilampaui dengan
ketenangan batin.
Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu
cepat marah, ketika salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain?
Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, ketika salah satu label
identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam pekerjaan dan gagal
dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan
label identitas kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar