Sabtu, 24 Desember 2016

Filsafat Cinta


Setiap orang pasti pernah pacaran, setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap suami pasti pacaran dulu dengan calon istrinya. Setelah mantap, baru mereka menikah. Kalo tidak mantap, yah putus, dan cari pacar lagi. Saya juga yakin, anda pasti pernah pacaran sebelumnya. Ya kan?
Setiap orang juga tahu, bahwa komponen terpenting dari pacaran adalah cinta. Ya, cinta! Namun, banyak orang kesulitan, ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya. Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda?
Yang saya tahu, cinta itu punya enam komponen. Anggaplah saya punya teori sendiri tentang cinta, semacam filsafat cinta. Enam komponen itu adalah hasrat, kehadiran, komitmen, akal budi, berkembang, dan paradoks. Bingung? Tenang.. saya akan jelaskan satu per satu.

Hasrat
Komponen pertama dari cinta, menurut saya, adalah hasrat. Hasrat adalah keinginan yang membakar hati, dan mendorong kita untuk bertindak. Hasrat adalah sumber dari dorongan hidup manusia, yang membuat kita bangun di pagi hari, dan mulai melakukan aktivitas. Pada saat ini, saya yakin, anda sedang berhasrat untuk membaca tulisan saya. Iya kan? Hayoo ngaku…
Sekitar 50 tahun yang lalu, Jacques Lacan, seorang pemikir asal Prancis, pernah menulis, bahwa manusia adalah mahluk yang berlubang. Hah, berlubang? Bukan berlubang secara fisik, tetapi ia memiliki lubang dalam jiwanya yang terus menuntut untuk diisi. Isinya bisa macam-macam, mulai diisi dengan barang-barang mewah, teman, keluarga, cinta, dan sebagainya. Apakah anda punya lubang semacam itu di hati anda?
Pada hemat saya, Lacan betul. Saya sendiri merasakannya. Bagi saya, lubang dalam jiwa itu adalah sumber dari segala hasrat manusia. Artinya, keinginan dan dorongan hidup manusia berakar pada upaya manusia untuk mengisi lubang yang ada di dalam jiwanya. Saya menyebutnya sebagai “rumah hasrat”. Menarik bukan?

Kehadiran
Komponen kedua, menurut saya, adalah kehadiran. Cinta itu butuh kehadiran, baik kehadiran fisik, maupun kehadiran hati. Orang yang mencintai harus “hadir” dengan seluruh dirinya untuk yang dicintai, untuk menemani, membantu, dan berjalan bersama dengan orang yang dicintainya.

Komitmen
Komponen ketiga dari cinta, menurut saya, adalah komitmen. Komitmen adalah kesetiaan pada janji. Bukan hanya setia, tetapi janji itu dijalankan, ditepati, sampai sedetil-detilnya, dan jangan ditawar-tawar, kalau sudah disepakati.
Pokoknya, cinta itu harus diikat dengan komitmen, baru sungguh menjadi cinta sejati yang menjadi penguat kehidupan, dan sumber kebahagiaan. Cinta tanpa komitmen itu seperti sambal tanpa cabe, artinya yah bukan sambal sama sekali. Ga ada gunanya. Masing-masing cuma menipu diri. Kita tidak hanya menipu orang lain, dengan mengaku mencintai dia, tetapi juga menipu diri sendiri.

Akal Budi
Cinta juga harus pake akal. Jangan mencintai secara gila-gilaan, sehingga ditipu pun tidak sadar. Orang yang mencintai juga harus tahu batas, kapan dia bisa memanjakan kekasihnya, memarahinya, atau meninggalkannya. Cinta tidak boleh buta. Duh.. hari gini, tetap saja masih ada orang yang mencintai secara buta, sehingga semuanya dikorbankan, termasuk uang, keluarga, dan sebagainya. Jangan jadi seperti itu ya…
Saya pernah punya teman perempuan. Ia amat mencintai suaminya. Apapun keinginan suaminya pasti dituruti. Gaya hidup mereka mewah, sementara pendapatan tak seberapa. Ketika situasi keuangan menurun, hubungan mereka krisis, dan pecah. Teman saya amat sedih dan patah hati. Ternyata, suaminya hanya mau dimanja, tetapi tidak mau hidup sulit bersamanya.
Saya juga dibilang sok-sok rasional. Itu sih tidak masalah, karena memang prinsip saya tetap sama, yakni pacaran dan cinta pun harus menggunakan akal. Jangan sampai kita diperas, karena cinta. Jangan sampai kita ditipu, karena cinta. Cinta tidak boleh membuat mata kita gelap dari kenyataan.

Berkembang
Cinta sejati itu mengembangkan. Saya setuju dengan prinsip ini. Orang yang saling mencintai ingin pasangannya lebih baik, lebih pintar, lebih bijak. Hubungan mereka menjadi dasar untuk mengembangkan diri seutuhnya. Setuju?
Namun, ada kalanya upaya mengembangkan diri itu mengancam hubungan. Misalnya, istri dapat promosi di luar kota, dan harus meninggalkan keluarganya. Sementara, si suami merasa, bahwa urusan di rumah terlalu banyak untuk diurusnya sendiri, maka ia tidak setuju dengan rencana itu. Lalu bagaimana?
Saya rasa, tidak ada rumus universal untuk masalah itu. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip berikut, semua keputusan yang dibuat harus didasarkan pada pembicaraan yang matang, egaliter, dan bebas dominasi antara semua pihak, yang nantinya terkena dampak dari keputusan itu. Proses ini menjamin, bahwa keputusan yang dibuat itu adil untuk semua pihak. Setujukah anda?
Berkembang juga harus tahu batas. Jangan sampai perkembangan diri justru malah menghancurkan hubungan. Percayalah, kesuksesan tidak ada artinya, kalau anda tidak punya orang yang bisa diajak untuk berbagi kesuksesan itu. Kebahagiaan itu bersifat sosial, dan tidak pernah bersifat semata individual. Orang yang paling berbahagia di dunia ini adalah orang yang paling banyak berbagi. Percaya tidak?

Paradoks
Esensi terdalam cinta, menurut saya, adalah paradoks. Paradoks itu artinya dua hal yang bertentangan, namun bisa menyatu, dan menciptakan sesuatu. Misalnya, anak itu sekaligus benci dan cinta pada ayahnya, atau orang itu sekaligus lembut dan keras pada saat bersamaan. Intinya, dua hal yang bertentangan justru bisa menyatu secara harmonis. Semoga anda tidak bingung ya..
Cinta pun juga paradoks. Di dalamnya, orang bisa merasakan benci dan sayang pada waktu yang sama. Cinta juga bisa bertahan, jika orang tidak terlalu mengikat pasangannya. Justru dengan melepas orang yang disayangi, maka cinta akan bertumbuh. Sebaliknya, dengan diikat, orang yang dicintai justru akan pergi.

Kalau kata orang dulu, mencintai itu seperti menggengam pasir. Semakin kita kuat menggengam, semakin cinta itu jatuh. Sebaliknya, jika kita menggenggam dengan santai, maka pasir/cinta itu akan tetap di tangan kita. Jadi, cinta itu memang mirip pasir. Pasir adalah bahan dasar bangunan material, sementara cinta adalah bahan dasar bangunan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar