Sabtu, 31 Desember 2016

Laporan Diskusi

Judul Buku                  : The Philosophy Of Mathematics Education
Materi                          : Bab 12 (Matematika, Nilai Dan Kesempatan Yang Sama)
Pertanyaan                  :
1.      Apa bukti dari rendahnya partisipasi ras atau etnis tertentu terhadap matematika? Mengingat matematika adalah pelajaran utama yang wajib ada pada semua jenjang pendidikan. (Ita Mafajatul Aliyah)
2.      Di dalam matematika terdapat masalah tentang pemisahan kesempatan partisipasi antara pria dan wanita. Apakah yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Dan bagaimana filsafat mengatasinya? (Davi Ariyanti)
Jawaban:
1.      Di Inggris, siswa dari kelompok etnis minoritas tertentu kurang sukses dalam pendidikan. Sebagai contoh, sebuah studi dari 3000 siswa di empat daerah perkotaan menemukan bahwa beberapa anak dari kelompok hitam jauh di bawah rata-rata dalam memasuki Sekolah Menengah untuk matematika. Namun temuan-temuan tersebut tidak dapat disimpulkan untuk seluruh kelompok etnis. Untuk masalah prestasi rendah dari tiap sekolah dan wilayah bervariasi, serta adanya faktor status sosial ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Dapat disajikan hasil bahwa banyak siswa etnis minoritas tidak ditawarkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah-sekolah Inggris.

2.      Penyebab kurangnya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan adalah adanya pandangan negatif bahwa kemampuan matematika wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dan memperkuat persepsi bahwa matematika merupakan subjek laki-laki, kerja yang dibayar lebih rendah bagi perempuan yaitu Posisi perempuan dibayar secara tidak proporsional dan pekerjaan di bawah status yang lebih rendah yaitu ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Konsekwensinya adalah rendahnya pencapaian kemampuan wanita terhadap matematika dan partisipasinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pendidikan, tetapi juga ada dalam bidang sosial. Dengan demikian masalah kesempatan yang sama dalam matematika adalah bukan hanya bahwa kesempatan yang hilang bagi kelompok etnis minoritas dan perempuan. Pandangan absolutis matematika menciptakan masalah bagi semua. Mendasari pandangan netral matematika adalah perspektif budaya dan nilai-nilai yang mendominasi budaya ilmiah Barat. Ini adalah budaya rasionalitas, yang alasan nilai tapi mencemarkan perasaan.

Jumat, 30 Desember 2016

Pernyataan Plato dan Alexander Braugarten tentang Filsafat Seni


           Para filsuf mengemukakan pemikirannya pada Filsafat Seni. Pendapat dari Plato, yakni Seni adalah keterampilan untuk memproduksi sesuatu, bagi Plato apa yang disebut dengan hasil seni adalah tiruan (immitation), sebagai contohnya pelukis yang sedang melukis panorama alam sesungguhnya hanya meniru panorama alam yang pernah dilihatnya. Begitupun dengan Aristoteles, ia sependapat dengan Plato yang menganggap bahwa seni merupakan tiruan dari berbagai hal yang ada. Namun perbedaannya adalah, Plato menganggap bahwa seni itu tidak begitu penting meskipun karya tulisnya adalah karya-karya seni sastra yang tak tertandingi sampai sekarang ini, Aristoteles justru menganggap penting karena memiliki pengaruh besar bagi manusia.
Filsuf lain, Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata aisthetikal. Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (The perfection of sentient knowledge).

Penerapan Filsafat Barat di Negara Indonesia


Dalam tradisi filsafat Barat di Negara Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda (negara-negara Barat), dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut adalah: Ontologi, Epistemologi, serta Aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “Keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris ( Kasat Mata ), Misalnya: Mengenai keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial .
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
Walaupun ajaran Filsafat Barat, erat hubungannya dengan agama Non-Muslim (Kristen), serta sering dikait-kaitkan dengan besarnya pengaruh yang ditimbulkan pada zamannya, akan tetapi dalam kenyataanya sekarang Negara Indonesia masih bisa meminamalisir keadaan tersebut, keadaan dimana negara Indonesia, menurut penelitian dari para ahli di bidangnnya menyatakan bahwa, Indonesia justru berada dalam kategori 5 besar negara dengan penduduk Mayoritas ber-agama Islam, tidak seperti apa yang diajarkan oleh para filsuf-filsuf pada Abad Pertengahan (Filsafat Barat), dimana ajaran mereka menyatakan dengan tegas bahwa, setiap perkataan, setiap perintah, bahwa setiap peraturannya yang di keluarkan olah seorang pendeta gereja adalah benarnya adanya, masyarakat di zamannya seperti berada dalam ‘abad gelap’ abad dimana mereka diibaratkan seperti sebuah robot yang harus mengikuti dan menjalankan perintah dari pemiliknya ‘Para Pendeta Gereja’. Dari segi persentase, Indonesia hanya miliki kurang dari 50% penduduknya yang beragama Non-Muslim ‘Kristen’.


Idealisme dalam Pendidikan


Aliran idealisme terbukti cukup banyak  berpengaruh dalam dunia pendidikan. William T. Harris adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
 Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat tapi idealisme. Maka tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk individual, masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi sebagai :
a)                  Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana atau fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya lewat materi-materi dalam aktifitas pembelajaran. Untuk itu, penting bagi guru memahami kondisi peserta didik dari berbagai sudut, baik mental, fisik, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya.
b)                 Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa. Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.
c)                  Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi materi dan yang lainnya.
d)                 Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain.
e)                  Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan dalam hal berinteraksi dengan anak didik.

Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual. Sedangkan implikasi Aliran Idealisme dalam Pendidikan yaitu :
a.                  Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
b.                  Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
c.                  Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
d.                 Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
e.                  Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.

Implementasi Idealisme dalam Pendidikan:
a.                  Pendidikan bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.
b.                  Pendidikan adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan sosial.
c.                  Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit intelektual guna membangun masyarakat yang ideal.
d.                 Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama.
e.                  Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima perkembangan.

f.                   Peranan pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta didik dengan hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat. Dengan kata lain, guru harus menyiapkan situasi dan kondisi yang kondusif untuk mendidik anak didik, serta lingkungan yang ideal bagi perkembangan mereka, kemudian membimbing mereka dengan kasih sayang dan dengan ide-ide yang dipelajarinya hingga sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya.

Kamis, 29 Desember 2016

Melampaui Teori


Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya. Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya. Kata “melampaui” bisa juga diganti dengan kata “sebelum” teori, yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. Para filsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir filsafat Timur, seperti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus melepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita dari kebiasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap (wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan, melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, karena kepalanya dipenuhi konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Keputusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi jelas dan jernih. Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan “intuisi”, yakni pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu yang alamiah, ketika orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak dipenuhi oleh “perang teori” dan “perang konsep” di dalam kepalanya soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.

Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, ketika kita melepaskan ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan perdamaian “versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada “konsep perdamaian” atau “teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. Ketika kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang sekitar.

Omong Kosong adalah Penipuan


Kita hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan omong kosong. Berita-berita di media dipelintir untuk mencipakan sensasi dan kegelisahan sosial di masyarakat. Dengan begitu, stasiun televisi lalu mendapatkan pemasukan iklan yang lebih besar. Iklan dan berbagai propaganda bohong lainnya juga memenuhi jaringan sosial kita.
Akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara kenyataan dan penipuan. Pikiran kita tertipu oleh fitnah dan propaganda di berbagai media. Uang kita juga habis, karena sering salah ambil keputusan, akibat kurangnya informasi yang akurat. Waktu dan tenaga kita pun terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.
Di sisi lain, keluarga dan orang-orang yang kita sayangi terabaikan. Kita sibuk mengejar omong kosong, dan melupakan apa yang sungguh penting dalam hidup. Hidup kita tersesat, namun seringkali kita tidak menyadarinya. Pada akhirnya, kita pun menderita, dan membuat orang-orang di sekitar kita menderita.

Omong Kosong
Omong kosong adalah kebohongan yang dibungkus dengan cara-cara tertentu, sehingga ia tampak sebagai benar. Omong kosong diciptakan dan disebar untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu. Di Indonesia sekarang ini, ada dua kepentingan yang secara langsung ditopang oleh omong kosong ini, yakni fanatisme agama dan konsumtivisme ekonomi. Keduanya mengakar begitu dalam dan tersebar begitu luas di Indonesia.
Agama di Indonesia, dan mungkin di seluruh dunia, menyebarkan begitu banyak omong kosong, sehingga menutupi pesan luhur dan sejati agama tersebut. Omong kosong ini lalu menciptakan fanatisme yang akhirnya berujung pada kekerasan. Omong kosong ini juga menciptakan pembodohan di berbagai bidang, mulai dari larangan untuk sekolah, sampai dengan penindasan pada kaum perempuan. Omong kosong ini juga sejatinya melestarikan tata masyarakat feodal yang menguntungkan segelintir kecil orang, dan merugikan masyarakat secara luas.
Omong kosong juga tersebar begitu luas di bidang ekonomi. Orang dirayu untuk terus membeli barang yang ia tidak perlu, walaupun uangnya terbatas untuk melakukan itu. Akibatnya, banyak orang hanya hidup untuk bekerja, menabung dan membeli barang-barang lebih banyak lagi. Mereka kehilangan kepedulian pada kehidupan bersama, dan berubah menjadi robot-robot bodoh yang doyan berbelanja.
Yang juga menyedihkan, institusi pendidikan juga banyak menyebar omong kosong. Mereka membalut segala bentuk omong kosong dengan penelitian (yang juga omong kosong), sehingga tampak ilmiah dan bisa dipercaya oleh masyarakat. Milyaran rupiah dikeluarkan untuk membiayai penelitian omong kosong untuk menopang omong kosong pula. Pendidikan berubah menjadi pembodohan dan pusat penelitian berubah menjadi pusat omong kosong.

Anti Omong Kosong
Dengan demikian, kita semua perlu belajar untuk mendeteksi omong kosong di sekitar kita. Kita perlu melihat kotoran sebagai kotoran, dan bukan sebagai makanan enak. Kita perlu berhenti untuk menelan mentah-mentah omong kosong yang disebarkan oleh agama dan ekonomi. Kita perlu kembali ke pesan asali agama dan ekonomi, yakni untuk kesejahteraan batin dan kesejateraan sosial.
Dua hal kiranya penting disini. Pemikiran kritis yang ditawarkan filsafat amat berguna untuk mendeteksi segala bentuk omong kosong di sekitar kita. Filsafat kritis perlu diajarkan secara luas di masyarakat. Filsafat tidak boleh diajarkan sebagai dogma untuk membenarkan ajaran agama tertentu, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, dan berbagai negara lainnya.
Namun, filsafat kritis harus juga diimbangi dengan pemikiran Zen yang berkembang di dalam Filsafat Timur. Zen mengajarkan orang untuk menyadari jati diri sejatinya, yang lebih dari sekedar pikiran maupun emosi yang muncul di kepalanya. Dengan kata lain, Zen mengajak orang untuk menjaga jarak dari pikirannya sendiri. Ini amat penting, sehingga orang tidak larut dan tenggelam di dalam pikiran kritisnya.

Hanya dengan begini, kita bisa terlindungi dari beragam omong kosong di masyarakat kita, dan tidak terjebak pada omong kosong di kepala kita sendiri.

Eksistensialisme

Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto = berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada eksistensinya. Artinya bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia berada, atau lebih tepat mengada, di dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu hanyalah manusia. Adanya benda dan adanya manusia jelas berbeda.
a)      Lahinya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia.
b)     Aliran Eksistensialisme
Berikut adalah penyebab aliran eksistensialisme lahir:
Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.


Penerapan Filsafat Ilmu dalam Matematika


Stephen R.Toulmin (Ihsan, A: 2013) mengatakan bahwa filsafat  ilmu partama-tama mencoba menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, praanggapan-praanggaan metafisis, dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologis praktis, dan metafisika.
Filsafat ilmu dalam matematika dapat dikaji dari materi – materi yang terdapat pada matematika, misalnya pada materi bangun ruang sebuah model (media) bangun ruang dapat dikatakan bangun ruang apabila ia memenuhi unsur – unsur bangun ruang itu sendiri, yaitu pada balok mempunyai 12 rusuk, 6 sisi, dan 8 titik sudut.
Filsafat ilmu dalam matematika bisa juga dikaji dari aspek ontologi, epistemologi, logika, cara berfikir deduktif dan induktif dan perkembangan ilmu pengetahuan yang seiring dengan perkembangan matematika yang semakin nyata dalam kehidupan dan konsep – konsep ilmu pengetahuan.
Rumus Phytagoras adalah rumus yang sering di pakai dalam pelajaran matematika di sekolah. Kadang kita di buat bingung dengan rumus pitagoras matematika, bagaimana cara membuktikan kebenarannya? Kurang lebih uraian tentang rumusphytagoras seperti di bawah ini.

Rumus asli phytagoras
Membuktikan kebenarannya, di mulai dengan membuat gambar sebuah persegi besar, kemudian gambarlah sebuah persegi kecil di dalam persegi besar tersebut, seperti gambar berikut:

Perhitungannya : 
Luas persegi besar = Luas persegi kecil + 4 Luas segitiga
( b + a ) . ( b + a ) = c . c + 4 . 1/2 b.a 
b2 + 2 b.a + a2 = c2 + 2 b.a 
b2 + a2 = c2 + 2 b.a - 2 b.a 
b2 + a2 = c2
Berdasarkan rumus tersebut terbukti bahwa sisi miring sebuah segitiga siku - siku adalah akar dari jumlah kuadrat sisi - sisi yang lain.

Dalil Phytagoras dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalil Pythagoras adalah suatu rumus yang berkaitan dengan sisi-sisi dari suatu segitiga siku-siku. Nama dalil Pythagoras di ambil dari nama penemunya yaitu Pythagoras yang merupakan matematikawan asal Yunani.
Dengan, a : sisi tegak segitiga siku-siku, b : sisi mendatar, c : sisi miring
Dalil Phytagoras sangat mudah untuk diaplikasikan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan segitiga siku-siku.
Selain mudah diaplikasikan, dalil Pythagoras juga memiliki peranan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk mengetahui tinggi layangan yang kita terbangkan. Kita tidak usah menggunakan alat ukur untuk mengukur tinggi layangan dari atas tanah, cukup dengan mengetahui panjang tali yang kita gunakan untuk bermain layang-layang dan juga jarak dari pemain layang-layang terhadap layang-layang, maka kita bisa menentukan tinggi dari layang-layang.
Perhatikan soal di bawah ini            :
Misal, panjang tali yang digunakan bila diukur dari tanah adalah 5 meter, dan jarak pemain dengan layang-layangnya adalah 3 meter, maka tinggi layang-layangnya adalah      :
Panjang tali kuadrat – jarak pemain kuadrat = tinggi layang-layang kuadrat
5^2 - 3^2   = 25 – 9 = 16, maka Tinggi layang-layang adalah √16 = 4 meter.

Di Indonesia sendiri pengamalan filsafat dalam ilmu, khususnya matematika, masih sangat amat jarang, bahkan tidak ada. Terlebih lagi setelah menjamurnya pusat bimbingan belajar yang mengajarkan rumus-rumus praktis tanpa menyodorkan dasar pemahaman yang cukup memadai. akhirnya ilmu hanya dipandang sebagai sesuatu yang pragmatis (Nuriasih, L: 2012).

Filsafat Tentang Kesepian


Ada lebih dari 6 milyar manusia di atas muka bumi sekarang ini. Akan tetapi, banyak orang masih hidup dalam kesepian yang menggerogoti jiwa. Inilah salah satu keanehan terbesar masyarakat manusia di awal abad 21 ini. Seperti lantunan lagu yang dinyanyikan Once dari Band Dewa, “di dalam keramaian, aku masih merasa sepi..”
Beragam penelitian dari berbagai bidang ilmu sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesepian itu berbahaya. Ia mendorong orang untuk berpikir salah. Akibatnya, ia merasa kesal, dan bahkan mengalami depresi. Dari keadaan yang jelek ini, banyak orang lalu memutuskan untuk melakukan bunuh diri. (Solomon, 2002) Apakah kesepian selalu menggiring manusia ke arah kegelapan semacam ini?

Akar-akar Kesepian
Saya melihat, ada dua akar mendasar dari kesepian. Pertama adalah akar sistemik. Kita hidup di dalam masyarakat pembunuh. Ada dua ciri mendasar dari masyarakat pembunuh, yakni ketakutan pada segala bentuk perbedaan (cara berpikir yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan warna kulit yang berbeda) dan kecenderungan untuk melihat sistem, aturan serta kebijakan lebih penting dari hidup manusia.
Sayangnya, hampir semua orang hidup di masyarakat semacam ini. Sulit menjadi orang Katolik (apalagi berjenis kelamin perempuan) di Saudi Arabia, karena masyarakatnya begitu tertutup dan primitif. Sulit menjadi pemikir yang kreatif dan bebas di tengah sistem pendidikan yang begitu kuno dan mencekik, seperti di Jerman dan Indonesia. Inilah contoh-contoh masyarakat pembunuh yang tidak hanya mendorong rasa kesepian yang ekstrem, tetapi juga menimbulkan beragam penderitaan lainnya bagi hidup manusia.
Di dalam masyarakat pembunuh, penderitaan satu orang tidaklah ada artinya, apalagi jika orang itu “berbeda”. Aturan dan prosedur lebih utama dari penderitaan manusia pribadi. Angka dan prosentase lebih penting dan bermakna, daripada kesedihan manusia pribadi. Ini seperti kritik Yesus terhadap masyarakat Yahudi lebih dari 2000 tahun silam, bahwa manusia akhirnya dikorbankan demi hukum. Manusia mati dan menderita, karena hukum, aturan, sistem dan administrasi tidak peduli padanya.
Akar kedua adalah akar pribadi. Biasanya, orang mengalami kesepian, setelah ia mengalami peristiwa yang berat dalam hidupnya. Misalnya, ia kehilangan keluarganya, atau gagal dalam hubungan yang bermakna baginya. Hal lain juga berpengaruh, misalnya kecenderungan diri yang amat rapuh (sensitif) terhadap berbagai peristiwa hidup. Faktor biologis tentu juga berperan.
Namun, saya berdiri di posisi, bahwa akar pribadi tidak akan menjadi masalah, jika sistem masyarakat pembunuh sudah berhasil diubah. Artinya, akar sistemik punya peran yang jauh lebih besar untuk mendorong orang masuk ke dalam kesepian. Kesepian bukanlah masalah baru di dalam hidup manusia. Pelbagai karya sastra klasik di berbagai peradaban sudah menggambarkan situasi kesepian yang begitu mencekik jiwa manusia. (Solomon, 2002)

Memahami Ulang
Saya ingin kembali ke pertanyaan awal, apakah kesepian selalu menggiring pada penderitaan dan kematian? Jawaban saya “tidak”. Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Dasar dari kelima argumen ini adalah, bahwa kesepian bisa menjadi satu bentuk jalan hidup manusia yang juga membawa makna serta kebahagiaan. Bagaimana ini dijelaskan?
Pertama, kesepian bisa dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang hidup kita. Kesepian adalah waktu untuk melakukan refleksi. Kita diajak untuk melihat apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita sampai pada titik kesepian ini. Kita juga diajak untuk berpikir lebih mendalam, apa yang akan kita lakukan dengan berpijak pada kesepian yang kita rasakan sekarang ini. Kesepian membuat hidup kita menjadi lebih mendalam.
Dua, waktu kesepian juga bisa digunakan untuk melakukan tinjauan ulang, apa yang sungguh penting di dalam hidup kita. Kita diajak untuk memikirkan ulang, apa yang sungguh bermakna di dalam hidup kita, sehingga itu layak untuk dikejar, walaupun sulit. Kita juga diajak untuk melepaskan apa yang palsu dan “membunuh” kita perlahan-lahan. Kesepian membuat kita sadar dan fokus pada apa yang sungguh penting dalam hidup kita, dan membuang jauh-jauh hal-hal yang jelek dan merusak hidup kita.
Tiga, kesepian juga mengajak kita berpikir ulang tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk sungguh membedakan antara sahabat dan teman/parasit. Sahabat akan hadir dan menemani kita di waktu kesepian. Sementara, teman/parasit hanya akan tertawa saja. Kita lalu bisa sungguh fokus pada sahabat kita yang, walaupun sedikit, akan selalu bisa menjadi pilar penyangga dalam hidup kita. Ingatlah, bahwa kualitas hidup kita juga ditentukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita, yakni sahabat-sahabat kita. Jangan pernah takut untuk kehilangan teman, karena itu adalah bagian dari proses penyaringan untuk sungguh tahu, siapa sahabat sejati kita, baik sekarang ataupun nanti.
Empat, kesepian juga adalah kesempatan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Di dalam kesepian, kita masuk dalam suatu keadaan gelap. Kita dipaksa untuk melepas semua pandangan dan keyakinan kita yang ada. Lalu, kita pun punya kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru, dan mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kesepian adalah saat untuk menjadi kreatif.
Lima, dengan sudut pandang yang berbeda, kita lalu berpikir dengan cara yang berbeda. Kita pun lalu bisa bekerja dan berkarya dari sudut pandang yang berbeda. Inilah hakekat dari penemuan baru yang bisa membawa manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Kesepian bisa dibaca sebagai saat untuk menjadi penemu dan penerobos kebuntuan di dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Jalan Hidup
Kesepian lalu tidak lagi dilihat sebagai melulu penyakit. Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam kesepian. Jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa menghancurkan manusia. Namun, kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh, guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup.
Banyak orang takut kesepian, karena itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Jadi, orang takut dengan kesendirian. Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang berkeluarga pun merasa kesepian. Kesepian dan kesendirian memang berhubungan, tetapi tak sama persis.

Lagi pula, kita lahir ke dunia ini sendiri. Kita tidak membawa siapa-siapa. Kita juga hidup sebenarnya sendiri, terutama mereka yang tak punya keluarga sejak awal. Kita pun berjuang sendiri, walau tampak berbondong-bondong orang di samping dan di belakang kita. Dan ingat, kita akan mati sendirian, dan mungkin kesepian. Jadi, mengapa takut dengan kesendirian dan kesepian, jika itu akan selalu ada dalam hidup kita?