Ada lebih dari 6 milyar manusia di
atas muka bumi sekarang ini. Akan tetapi, banyak orang masih hidup dalam
kesepian yang menggerogoti jiwa. Inilah salah satu keanehan terbesar masyarakat
manusia di awal abad 21 ini. Seperti lantunan lagu yang dinyanyikan Once dari
Band Dewa, “di dalam keramaian, aku masih merasa sepi..”
Beragam penelitian dari berbagai
bidang ilmu sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesepian itu berbahaya. Ia
mendorong orang untuk berpikir salah. Akibatnya, ia merasa kesal, dan bahkan
mengalami depresi. Dari keadaan yang jelek ini, banyak orang lalu memutuskan
untuk melakukan bunuh diri. (Solomon, 2002) Apakah kesepian selalu menggiring
manusia ke arah kegelapan semacam ini?
Akar-akar Kesepian
Saya melihat, ada dua akar mendasar
dari kesepian. Pertama adalah akar sistemik. Kita hidup di dalam masyarakat
pembunuh. Ada dua ciri mendasar dari masyarakat pembunuh, yakni ketakutan pada
segala bentuk perbedaan (cara berpikir yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan
warna kulit yang berbeda) dan kecenderungan untuk melihat sistem, aturan serta
kebijakan lebih penting dari hidup manusia.
Sayangnya, hampir semua orang hidup
di masyarakat semacam ini. Sulit menjadi orang Katolik (apalagi berjenis
kelamin perempuan) di Saudi Arabia, karena masyarakatnya begitu tertutup dan
primitif. Sulit menjadi pemikir yang kreatif dan bebas di tengah sistem
pendidikan yang begitu kuno dan mencekik, seperti di Jerman dan Indonesia.
Inilah contoh-contoh masyarakat pembunuh yang tidak hanya mendorong rasa
kesepian yang ekstrem, tetapi juga menimbulkan beragam penderitaan lainnya bagi
hidup manusia.
Di dalam masyarakat pembunuh,
penderitaan satu orang tidaklah ada artinya, apalagi jika orang itu “berbeda”.
Aturan dan prosedur lebih utama dari penderitaan manusia pribadi. Angka dan
prosentase lebih penting dan bermakna, daripada kesedihan manusia pribadi. Ini
seperti kritik Yesus terhadap masyarakat Yahudi lebih dari 2000 tahun silam,
bahwa manusia akhirnya dikorbankan demi hukum. Manusia mati dan menderita,
karena hukum, aturan, sistem dan administrasi tidak peduli padanya.
Akar kedua adalah akar pribadi.
Biasanya, orang mengalami kesepian, setelah ia mengalami peristiwa yang berat
dalam hidupnya. Misalnya, ia kehilangan keluarganya, atau gagal dalam hubungan
yang bermakna baginya. Hal lain juga berpengaruh, misalnya kecenderungan diri
yang amat rapuh (sensitif) terhadap berbagai peristiwa hidup. Faktor biologis
tentu juga berperan.
Namun, saya berdiri di posisi, bahwa
akar pribadi tidak akan menjadi masalah, jika sistem masyarakat pembunuh sudah
berhasil diubah. Artinya, akar sistemik punya peran yang jauh lebih besar untuk
mendorong orang masuk ke dalam kesepian. Kesepian bukanlah masalah baru di
dalam hidup manusia. Pelbagai karya sastra klasik di berbagai peradaban sudah
menggambarkan situasi kesepian yang begitu mencekik jiwa manusia. (Solomon,
2002)
Memahami Ulang
Saya ingin kembali ke pertanyaan
awal, apakah kesepian selalu menggiring pada penderitaan dan kematian? Jawaban
saya “tidak”. Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Dasar dari kelima
argumen ini adalah, bahwa kesepian bisa menjadi satu bentuk jalan hidup manusia
yang juga membawa makna serta kebahagiaan. Bagaimana ini dijelaskan?
Pertama, kesepian bisa dijadikan
sebagai waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang hidup kita. Kesepian
adalah waktu untuk melakukan refleksi. Kita diajak untuk melihat apa yang sudah
kita lakukan, sehingga kita sampai pada titik kesepian ini. Kita juga diajak
untuk berpikir lebih mendalam, apa yang akan kita lakukan dengan berpijak pada
kesepian yang kita rasakan sekarang ini. Kesepian membuat hidup kita menjadi
lebih mendalam.
Dua, waktu kesepian juga bisa
digunakan untuk melakukan tinjauan ulang, apa yang sungguh penting di dalam
hidup kita. Kita diajak untuk memikirkan ulang, apa yang sungguh bermakna di
dalam hidup kita, sehingga itu layak untuk dikejar, walaupun sulit. Kita juga
diajak untuk melepaskan apa yang palsu dan “membunuh” kita perlahan-lahan.
Kesepian membuat kita sadar dan fokus pada apa yang sungguh penting dalam hidup
kita, dan membuang jauh-jauh hal-hal yang jelek dan merusak hidup kita.
Tiga, kesepian juga mengajak kita
berpikir ulang tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk
sungguh membedakan antara sahabat dan teman/parasit. Sahabat akan hadir dan
menemani kita di waktu kesepian. Sementara, teman/parasit hanya akan tertawa
saja. Kita lalu bisa sungguh fokus pada sahabat kita yang, walaupun sedikit,
akan selalu bisa menjadi pilar penyangga dalam hidup kita. Ingatlah, bahwa
kualitas hidup kita juga ditentukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita,
yakni sahabat-sahabat kita. Jangan pernah takut untuk kehilangan teman, karena
itu adalah bagian dari proses penyaringan untuk sungguh tahu, siapa sahabat sejati
kita, baik sekarang ataupun nanti.
Empat, kesepian juga adalah
kesempatan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Di dalam
kesepian, kita masuk dalam suatu keadaan gelap. Kita dipaksa untuk melepas
semua pandangan dan keyakinan kita yang ada. Lalu, kita pun punya kesempatan
untuk melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru, dan mungkin lebih baik
dari sebelumnya. Kesepian adalah saat untuk menjadi kreatif.
Lima, dengan sudut pandang yang
berbeda, kita lalu berpikir dengan cara yang berbeda. Kita pun lalu bisa
bekerja dan berkarya dari sudut pandang yang berbeda. Inilah hakekat dari
penemuan baru yang bisa membawa manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
Kesepian bisa dibaca sebagai saat untuk menjadi penemu dan penerobos kebuntuan
di dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Jalan Hidup
Kesepian lalu tidak lagi dilihat
sebagai melulu penyakit. Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam
kesepian. Jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa
menghancurkan manusia. Namun, kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan
untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu
dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh,
guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup.
Banyak orang takut kesepian, karena
itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Jadi, orang takut dengan
kesendirian. Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang berkeluarga
pun merasa kesepian. Kesepian dan kesendirian memang berhubungan, tetapi tak
sama persis.
Lagi pula, kita lahir ke dunia ini
sendiri. Kita tidak membawa siapa-siapa. Kita juga hidup sebenarnya sendiri,
terutama mereka yang tak punya keluarga sejak awal. Kita pun berjuang sendiri,
walau tampak berbondong-bondong orang di samping dan di belakang kita. Dan
ingat, kita akan mati sendirian, dan mungkin kesepian. Jadi, mengapa takut
dengan kesendirian dan kesepian, jika itu akan selalu ada dalam hidup kita?