Senin, 14 November 2016

Ilmu dan Filsafat



Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana. “coba sebutkan kepada saya jenis manusia yang terdpaat dlama kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun:
Ada orang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di ketidaktahuannya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di ketidaktahuannya
“bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“mudah saja,” jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang tidak kamu tahu.”
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, dna filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita ketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan kita  ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian berfilsafat juga berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjut dna perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus terang pada diri kita sendiri:
Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?
Apakah ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya yang bukan ilmu?
Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?
Mengapa kita mesti mempelajari?
Sering kita melihat seorang ilmuan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu social. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuan masing-maisng, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang tan tercengang; bahwa masih ada langit lain di luar tempurung kita.dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri yang saya tahu, simpul sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa!.
Kerendahatian sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafat yakni mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat dikatakan benar? bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria tersebut dilakukan? Apakah criteria itu sendiri benar? Lalu benar itu apa? Seperti sebuah lingkaran pertanyaan itu  melingkar. Dan menyusun sebuah lingkaran, kita harus mulia drai satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menemukan titik awal yang benar?
“Ah, Horatio,” desis Hamlet, “masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu”.memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilha yang merupakan cirri filsafat yaitu bersifat spekulatif..
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan?. Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktian, kita bisa memisahkan spekulasi yang mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada di mulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan criteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembas di atas kebenaran. Tanpa meretapkan apa yang disebut dengan bai atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian. 

Referensi:
Suriasumantri, Jujun S. 2007. FILSAFAT ILMU. Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar